Sejak
mentari menguap di peraduan timur, sebuih pasir di pantai putih terus mengering seiring terik siang. Lelehan riuh
ombaknya menaburi kerindangan di pucuk-pucuk cemara. Dingin... sepoi...
segar... angin bumi yang Tuhan kirimkan dari ‘Arasy. Aku terus menatap ujung
kejauhan laut itu. Tak berujung. Sama seperti dengan diriku yang sedang
mengelana jauh tanpa batas.
Nayla :
“Anna... ayo sarapan!” kakak perempuanku berteriak membuyarkan lamunanku.
Anna : “iya
kak. Sebentar.”
Seminggu sudah, aku berada di rumah. Di
kota Sumenep. Tepatnya di pantai dengan pasir putih yang terus bertebaran
tertiup angin. Sebelum meninggalkan pasir putih, ku tatap sekali lagi laut biru
tempatku menghabiskan masa kecilku. Kemudian pergi. Ketika sampai di depan rumah, ku tatap pintu rumahku dengan penuh seksama. Ah... cepat
sekali waktu berlalu, pikirku dalam hati.
Nayla : “kau kemana saja Anna. Kakak dengan ibu sudah menunggumu sejak tadi.”
Nayla : “kau kemana saja Anna. Kakak dengan ibu sudah menunggumu sejak tadi.”
Aku :
“iya... maaf... Anna kan sedang mengunjungi tempat favorit Anna kak.” Timpalku
manja. Sejak 2 bulan lalu, aku suka sekali pergi ke pantai dan menunggui senja
di pinggir pantai. Aku juga tak mengerti. Aku merasa terhipnotis dan merasa
kangen bila lama tak ke pantai.
Pagi itu, aku bersama keluarga menikmati sarapan
pagi dengan penuh canda tawa. Aku pun begitu. Tapi bukan hatiku. Hatiku tetap
resah dan gelisah. Pikiranku melayang kemana-mana ke negeri antah berantah yang
tak jelas.
“Nanti kau berpakaianlah dengan baik, karena akan
ada tamu dari Tulungagung,” datar sekali kata-kata ayah. Dia sosok ayah yang
berwibawa dan menyayangi kami, anak-anaknya. Mendengar ucapan ayah, aku pun
mulai menebak siapa yang akan datang berkunjung ke rumah kami. Aahh...
jangan-jangan??? Aku berusaha membuang pikiran aneh itu. Semoga saja apa yang
ku pikirkan tidak benar.
Pukul 09.00 WIB
“Assalamu alaikum...,” terdengar suara kompak
memanggil salam di depan rumah.
Aku tak berusaha menjawab atau menemui asal suara
itu. Aku lebih memilih diam di kamar. Kakakku datang menemui mereka dan
berkata,
“Waalaikumus salam.... silahkan masuk. Saya
panggil bapak dan ibu dulu.” Kakakku menyilahkan tamu kami untuk masuk dan
duduk, lalu beranjak pergi menemui ibu. Tapi...
“loh... An. Kenapa belum siap-siap? Keluarga Pak
Halim sudah di depan loh. Ayo cepaat..”
Betapa kagetnya aku ketika kakakku menerobos masuk
ke kamar tanpa mengetuk pintu. Dengan penuh rasa malas, aku pun memakai pakaian
dan dandanan ala kadarnya. Ku dengar suara tawa dan candaan di ruang tamu rumah
kami. Dua keluarga itu saling bercerita tentang anak-anaknya dan masa kecil
mereka.
“Anna dimana? Kok lama sekali Nayla?” ibu
menanyakanku.
“Nayla sudah mengingatkannya barusan ibu.” Jawab
kakakku.
“Anna... jangan lama-lama nak. Pak Halim dan
keluarganya ingin bertemu denganmu.”
Andai saja aku tak menuruti kemauan ibuku untuk
pulang, tentu kejadiannya tidak akan seperti ini. Aku sedikit menggerutu.
Seolah-olah keluarga pak Halim yang salah. Yang ku tak habis pikir, ada
keperluan apa mereka kesini? Hingga bapak dan ibu memaksaku untuk pulang ke
rumah. Apakah benar gosip yang kemarin sempat ku dengar dari tetangga, bahwa
aku akan ditunangkan? Jika memang benar, sungguh aku tak mau. Sebentar lagi aku
akan kuliah. Aku sudah merajut mimpi-mimpi indah di masa depan. Ayah dan ibu
pun setuju jika aku melanjutkan pendidikan. Tapi kenapa akhirnya harus begini?
Ketika aku mulai menyalahkan orang tuaku, perlahan aku sadar dan beristighfar
karena terlalu mendramatisir keadaan. Aku berharap, tak akan terjadi apa-apa
ketika aku temui keluarga pak Halim nanti. Sebelum beranjak keluar dari kamar,
ku sempatkan berdoa kepada Allah,
رَبِّ الشْرَحْلِيْ صَدْرِيْ وَ يَسِّرْلِيْ أَمْريْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَنِيْ
Ku mantapkan kaki untuk melangkah keluar. Dengan
sedikit cemas dan gugup, aku masuk ke ruang tamu dan duduk menunduk. Betapa
kagetnya aku ketika ayah berkata,
“Baiklah, kita langsung tentukan hari
pertunangannya saja. Biar tidak mengulur waktu lagi. Iya kan bu?” ucap ayah
menunggu persetujuan ibu.
“Iya pak. Kita sudah sepakat untuk melangsungkan
acara pertunangan secepat mungkin. Karena Anna juga harus segera kembali ke pesantren.”
Ibu menambahkan.
Ya Allah... betapa ngilunya hatiku. Semua yang ku
duga selama beberapa hari ini ternyata benar. Aku akan di tunangkan dengan anak
pak Halim, yaitu Maulana. Laki-laki yang tertunduk bahagia mendengar ucapan
ayah. Nama yang sudah aku dengar sejak beberapa hari yang lalu dari gunjingan
tetangga sebelah. Aku tak mengerti kenapa orang tuaku semudah itu
menjodohkanku. Beberapa bulan yang lalu di pesantren, aku sudah mengingatkan
ayah agar tidak menjodohkanku terlebih dulu sebelum kuliahku selesai. Aku tak
mau konsentrasiku terganggu dengan hal-hal seperti itu. Terlalu banyak yang
ingin ku capai, dan aku tak mau menyia-nyiakannya. Aku hanya terdiam kaku. Tak mampu berucap
sepatah pun. Percakapan menjengkelkan, pikirku. Perasaan marah dan sakit hati
beradu dalam jiwaku. Sungguh, aku tak mampu memikirkannya. Hatiku dipenuhi rasa
marah kepada keluarga pak Halim dan sakit hati terhadap ayah dan ibu. Aku tak
berkutik sedikit pun dan hanya terduduk lesu. Ingin rasanya ku berlari ke
pantai untuk meluapkan perasaanku yang tak tertahankan. Ingin rasanya ku
menangis, tersedu, teriak, dan meratap. Tapi sejenak ku sadar bahwa, jika aku
sampai melakukan hal itu, betapa malunya keluargaku karena perbuatanku itu. Sungguh,
aku tak mau mengecewakan orang tuaku, apalagi menyakiti mereka. Akhirnya,
dengan perasaan terpaksa, ku putuskan untuk tetap duduk. Berusaha
menyunggingkan seutas senyum walau rasanya sangat getir. Di akhir percakapan,
diputuskanlah tanggal, waktu dan tempat acara pertunanganku akan dilangsungkan.
Tapi aku tak tahu kapan itu. Tak sedikit pun pembicaraan mereka yang masuk ke
telingaku. Sama sekali. Aku terlalu disibukkan dengan perasaan tak karuan dan
air mata yang sejak lama ku tahan demi kehormatan orang tuaku.
Pukul 12.00 WIB, usai sudah pertemuan itu. Setelah
bersalaman dengan keluarga pak Halim dan sekali lagi menyunggingkan senyuman
terpaksa, aku pun langsung berlari secepat mungkin. Aku tak tahu berapa
kecepatan lariku. Aku berlari serasa terbawa angin yang panas karena amarah.
Tak terasa apa-apa. Tak terasa pula ku telah tiba di pantai putihku. Di situ,
aku puaskan diriku menangis dan meneteskan air mata. Panas matahari dzuhur saja
tak mampu mengenyahkanku dari pinggir laut. Tubuhku sudah basah dengan lelehan air
mata yang membanjir di wajah. Ku tatap lekat-lekat laut biru di depan mataku.
Laut yang terhampar luas dan tak berujung. Andai ayah dan ibu tahu apa yang
telah terjadi antara aku dan pantai ini. Pantai yang ku jadikan pelarian ketika
aku merasakan rindu yang hebat kepada
seseorang. Seseorang yang tak pernah ku temui kecuali foto dan sebuah nama yang
tetap ku pegang teguh dalam-dalam. Lelaki di seberang laut kota Sumenep yang
juga menyukai laut. Muhammad Itsbat. Yah... nama itu. Nama yang telah lama
menggelayuti pikiranku sejak dua bulan yang lalu. Rasa yang bermula dari
panggilan salah sambung dan perkenalan singkat di jaringan telepon lalu
berlanjut menjadi diskusi-diskusi kecil mengenai ilmu dan pondok membuatku
terbawa ke dalam mimpi yang memabukkan. Kami hanya menjalin persahabatan. Tak
lebih. Tapi kenapa arusnya begitu hebat menumbuhkan perasaan cinta di dalam
hatiku? Perasaan yang mengganggu ini pun terpaksa ku utarakan. Tepatnya tiga
hari yang lalu. Dia terkejut, karena tak dia sangka aku memendam perasaan
untuknya. Hingga hari ini, tak ada tanggapan apapun darinya. Bahkan
pesan-pesanku sama sekali belum dia balas. Segala cara telah ku lakukan agar
dia memaafkanku. Hingga ku telpon berkali-kali tapi tak pernah dia jawab. Di
saat aku merasakan kegamangan ini, muncul kegelisahan baru dari keluargaku
sendiri.
Setelah cucuran air mata ku tumpahkan
sepuas-puasnya, kini hatiku lega dan amarah jiwa pun reda. Mentari siang juga
telah semakin condong ke barat hingga aku harus pulang ke rumah karena shalat
dzuhur belum ku laksanakan.
Sore hari...
Allahu Akbar Allahu Akbar, asyhadu an Laa
Ilaaha illa Allah...
Adzan telah berkumandang. Ku tunaikan shalat
ashar.
Beep... beep... beep...
Ku buka hpku, sms Itsbat.
“Maaf, smsmu baru ku balas. Beberapa hari ini saya
sengaja untuk tidak menghubungi siapa pun dan dihubungi siapa pun. Dan... soal
kejujuranmu kemarin... maaf. Lebih baik kau buang perasaanmu itu. Tak baik
memendam perasaan itu. Lebih baik kita berteman saja.”
Sms itu membungkam dalam-dalam di benakku. Aku
kecewa. Tapi tak sakit hati. Karena aku memang hanya ingin berteman
dengannya.
“Iya. Kita hanya berteman. Tak lebih. Saya
hanya tak mau menutup-nutupinya saja. Soal tanggapanmu saya tak terlalu memikirkannya.
Maaf telah membuatmu nggak nyaman karena smsku kemarin.” Ku balas dengan penuh derai yang
tertahan. Ku paksakan dan sempatkan tersenyum dalam-dalam. Ternyata aku
berharap dia juga menyimpan rasa untukku. Ah… aku masih egois. Bukan mencinta karena Allah.
“Terima kasih atas pengertianmu. Lebih
baik ku kejar cita-citamu. Begitu pun aku.”
“Ya. Terima kasih pula telah menjadi teman
dalam beberapa bulan ini. Ku tak akan melupakan persahabatan yang pernah
terjalin ini. Semoga kau sukses dengan mimpi-mimpimu.”
“Ya. Terima kasih. Kau juga.”
Ku tutup ponsel. Menghela napas panjang. Mungkin
memang ini akhirnya. Jalan yang terbaik. Dan aku tetap dengan perasaanku.
Beserta cinta yang harus ku miliki untuk calon tunanganku. Ah... ayah... ibu...
Kalian tempatku untuk pasrah dengan segala yang kalian putuskan atas diriku.
08 Agustus 2015
Hari pertunangan...
Cincin telah bertumpu di jari manis. Keluargaku
dan keluarga pak Halim bahagia. Tapi aku tidak. Bayangan dan letup suara Itsbat
masih terngiang dalam ingatan. Maulana, turut bahagia. Aku tersenyum simpul
melihat suasana bahagia yang tenang di salah satu ruang rumah kami. Bu Ulfa,
ibu Maulana memelukku. Begitu pula ibuku, memeluk Maulana. Aku tetap mematung.
Ya
Allah... ijinkan aku menyerahkan jiwa dan diri ini. Aku tak bisa membuang perasaan
ini sepenuhnya. Ku kira, dia akan menjadi pelita di saat aku redup. Lelaki yang
ku tahu memiliki ilmu-Mu yang luas di hatinya. Lelaki yang tiap detak nafas
selalu karena-Mu. Dan Kau tak menakdirkannya untukku. Maka, jadikan aku
perempuan yang tabah dan kuat atas takdir cinta-Mu. Dengan segala upaya agar aku
bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Aku akan menjalaninya. Untuk-Mu...
Kembali ke pantai...
Laut biru itu masih seperti sedia kala. Tak ada
yang berubah. Kecuali satu. Laut biru itu tak lagi menjadi milikku. Dia pergi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar