Mengenai Saya

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
cantik, luwes, baik hati, and up to date

Kamis, 09 Mei 2013

Cerpen: Laut Biru di Seberang Penantian



Sejak mentari menguap di peraduan timur, sebuih pasir di pantai putih terus mengering seiring terik siang. Lelehan riuh ombaknya menaburi kerindangan di pucuk-pucuk cemara. Dingin... sepoi... segar... angin bumi yang Tuhan kirimkan dari ‘Arasy. Aku terus menatap ujung kejauhan laut itu. Tak berujung. Sama seperti dengan diriku yang sedang mengelana jauh tanpa batas. 
Nayla   : “Anna... ayo sarapan!” kakak perempuanku berteriak membuyarkan lamunanku.
Anna   : “iya kak. Sebentar.”

Seminggu sudah, aku berada di rumah. Di kota Sumenep. Tepatnya di pantai dengan pasir putih yang terus bertebaran tertiup angin. Sebelum meninggalkan pasir putih, ku tatap sekali lagi laut biru tempatku menghabiskan masa kecilku. Kemudian pergi. Ketika sampai di depan rumah, ku tatap pintu rumahku dengan penuh seksama. Ah... cepat sekali waktu berlalu, pikirku dalam hati.

Nayla   : “kau kemana saja Anna. Kakak dengan ibu sudah menunggumu sejak tadi.”
Aku     : “iya... maaf... Anna kan sedang mengunjungi tempat favorit Anna kak.” Timpalku manja. Sejak 2 bulan lalu, aku suka sekali pergi ke pantai dan menunggui senja di pinggir pantai. Aku juga tak mengerti. Aku merasa terhipnotis dan merasa kangen bila lama tak ke pantai.

Pagi itu, aku bersama keluarga menikmati sarapan pagi dengan penuh canda tawa. Aku pun begitu. Tapi bukan hatiku. Hatiku tetap resah dan gelisah. Pikiranku melayang kemana-mana ke negeri antah berantah yang tak jelas.
“Nanti kau berpakaianlah dengan baik, karena akan ada tamu dari Tulungagung,” datar sekali kata-kata ayah. Dia sosok ayah yang berwibawa dan menyayangi kami, anak-anaknya. Mendengar ucapan ayah, aku pun mulai menebak siapa yang akan datang berkunjung ke rumah kami. Aahh... jangan-jangan??? Aku berusaha membuang pikiran aneh itu. Semoga saja apa yang ku pikirkan tidak benar.

Pukul 09.00 WIB
“Assalamu alaikum...,” terdengar suara kompak memanggil salam di depan rumah.
Aku tak berusaha menjawab atau menemui asal suara itu. Aku lebih memilih diam di kamar. Kakakku datang menemui mereka dan berkata,
“Waalaikumus salam.... silahkan masuk. Saya panggil bapak dan ibu dulu.” Kakakku menyilahkan tamu kami untuk masuk dan duduk, lalu beranjak pergi menemui ibu. Tapi...
“loh... An. Kenapa belum siap-siap? Keluarga Pak Halim sudah di depan loh. Ayo cepaat..”
Betapa kagetnya aku ketika kakakku menerobos masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Dengan penuh rasa malas, aku pun memakai pakaian dan dandanan ala kadarnya. Ku dengar suara tawa dan candaan di ruang tamu rumah kami. Dua keluarga itu saling bercerita tentang anak-anaknya dan masa kecil mereka.
“Anna dimana? Kok lama sekali Nayla?” ibu menanyakanku.
“Nayla sudah mengingatkannya barusan ibu.” Jawab kakakku.
“Anna... jangan lama-lama nak. Pak Halim dan keluarganya ingin bertemu denganmu.”



Andai saja aku tak menuruti kemauan ibuku untuk pulang, tentu kejadiannya tidak akan seperti ini. Aku sedikit menggerutu. Seolah-olah keluarga pak Halim yang salah. Yang ku tak habis pikir, ada keperluan apa mereka kesini? Hingga bapak dan ibu memaksaku untuk pulang ke rumah. Apakah benar gosip yang kemarin sempat ku dengar dari tetangga, bahwa aku akan ditunangkan? Jika memang benar, sungguh aku tak mau. Sebentar lagi aku akan kuliah. Aku sudah merajut mimpi-mimpi indah di masa depan. Ayah dan ibu pun setuju jika aku melanjutkan pendidikan. Tapi kenapa akhirnya harus begini? Ketika aku mulai menyalahkan orang tuaku, perlahan aku sadar dan beristighfar karena terlalu mendramatisir keadaan. Aku berharap, tak akan terjadi apa-apa ketika aku temui keluarga pak Halim nanti. Sebelum beranjak keluar dari kamar, ku sempatkan berdoa kepada Allah,

رَبِّ الشْرَحْلِيْ صَدْرِيْ وَ يَسِّرْلِيْ أَمْريْ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَنِيْ

Ku mantapkan kaki untuk melangkah keluar. Dengan sedikit cemas dan gugup, aku masuk ke ruang tamu dan duduk menunduk. Betapa kagetnya aku ketika ayah berkata,
“Baiklah, kita langsung tentukan hari pertunangannya saja. Biar tidak mengulur waktu lagi. Iya kan bu?” ucap ayah menunggu persetujuan ibu.
“Iya pak. Kita sudah sepakat untuk melangsungkan acara pertunangan secepat mungkin. Karena Anna juga harus segera kembali ke pesantren.” Ibu menambahkan.

Ya Allah... betapa ngilunya hatiku. Semua yang ku duga selama beberapa hari ini ternyata benar. Aku akan di tunangkan dengan anak pak Halim, yaitu Maulana. Laki-laki yang tertunduk bahagia mendengar ucapan ayah. Nama yang sudah aku dengar sejak beberapa hari yang lalu dari gunjingan tetangga sebelah. Aku tak mengerti kenapa orang tuaku semudah itu menjodohkanku. Beberapa bulan yang lalu di pesantren, aku sudah mengingatkan ayah agar tidak menjodohkanku terlebih dulu sebelum kuliahku selesai. Aku tak mau konsentrasiku terganggu dengan hal-hal seperti itu. Terlalu banyak yang ingin ku capai, dan aku tak mau menyia-nyiakannya.  Aku hanya terdiam kaku. Tak mampu berucap sepatah pun. Percakapan menjengkelkan, pikirku. Perasaan marah dan sakit hati beradu dalam jiwaku. Sungguh, aku tak mampu memikirkannya. Hatiku dipenuhi rasa marah kepada keluarga pak Halim dan sakit hati terhadap ayah dan ibu. Aku tak berkutik sedikit pun dan hanya terduduk lesu. Ingin rasanya ku berlari ke pantai untuk meluapkan perasaanku yang tak tertahankan. Ingin rasanya ku menangis, tersedu, teriak, dan meratap. Tapi sejenak ku sadar bahwa, jika aku sampai melakukan hal itu, betapa malunya keluargaku karena perbuatanku itu. Sungguh, aku tak mau mengecewakan orang tuaku, apalagi menyakiti mereka. Akhirnya, dengan perasaan terpaksa, ku putuskan untuk tetap duduk. Berusaha menyunggingkan seutas senyum walau rasanya sangat getir. Di akhir percakapan, diputuskanlah tanggal, waktu dan tempat acara pertunanganku akan dilangsungkan. Tapi aku tak tahu kapan itu. Tak sedikit pun pembicaraan mereka yang masuk ke telingaku. Sama sekali. Aku terlalu disibukkan dengan perasaan tak karuan dan air mata yang sejak lama ku tahan demi kehormatan orang tuaku.

Pukul 12.00 WIB, usai sudah pertemuan itu. Setelah bersalaman dengan keluarga pak Halim dan sekali lagi menyunggingkan senyuman terpaksa, aku pun langsung berlari secepat mungkin. Aku tak tahu berapa kecepatan lariku. Aku berlari serasa terbawa angin yang panas karena amarah. Tak terasa apa-apa. Tak terasa pula ku telah tiba di pantai putihku. Di situ, aku puaskan diriku menangis dan meneteskan air mata. Panas matahari dzuhur saja tak mampu mengenyahkanku dari pinggir laut. Tubuhku sudah basah dengan lelehan air mata yang membanjir di wajah. Ku tatap lekat-lekat laut biru di depan mataku. Laut yang terhampar luas dan tak berujung. Andai ayah dan ibu tahu apa yang telah terjadi antara aku dan pantai ini. Pantai yang ku jadikan pelarian ketika aku  merasakan rindu yang hebat kepada seseorang. Seseorang yang tak pernah ku temui kecuali foto dan sebuah nama yang tetap ku pegang teguh dalam-dalam. Lelaki di seberang laut kota Sumenep yang juga menyukai laut. Muhammad Itsbat. Yah... nama itu. Nama yang telah lama menggelayuti pikiranku sejak dua bulan yang lalu. Rasa yang bermula dari panggilan salah sambung dan perkenalan singkat di jaringan telepon lalu berlanjut menjadi diskusi-diskusi kecil mengenai ilmu dan pondok membuatku terbawa ke dalam mimpi yang memabukkan. Kami hanya menjalin persahabatan. Tak lebih. Tapi kenapa arusnya begitu hebat menumbuhkan perasaan cinta di dalam hatiku? Perasaan yang mengganggu ini pun terpaksa ku utarakan. Tepatnya tiga hari yang lalu. Dia terkejut, karena tak dia sangka aku memendam perasaan untuknya. Hingga hari ini, tak ada tanggapan apapun darinya. Bahkan pesan-pesanku sama sekali belum dia balas. Segala cara telah ku lakukan agar dia memaafkanku. Hingga ku telpon berkali-kali tapi tak pernah dia jawab. Di saat aku merasakan kegamangan ini, muncul kegelisahan baru dari keluargaku sendiri.
Setelah cucuran air mata ku tumpahkan sepuas-puasnya, kini hatiku lega dan amarah jiwa pun reda. Mentari siang juga telah semakin condong ke barat hingga aku harus pulang ke rumah karena shalat dzuhur belum ku laksanakan.

Sore hari...
Allahu Akbar Allahu Akbar, asyhadu an Laa Ilaaha illa Allah...
Adzan telah berkumandang. Ku tunaikan shalat ashar.
Beep... beep... beep...
Ku buka hpku, sms Itsbat.
“Maaf, smsmu baru ku balas. Beberapa hari ini saya sengaja untuk tidak menghubungi siapa pun dan dihubungi siapa pun. Dan... soal kejujuranmu kemarin... maaf. Lebih baik kau buang perasaanmu itu. Tak baik memendam perasaan itu. Lebih baik kita berteman saja.”
Sms itu membungkam dalam-dalam di benakku. Aku kecewa. Tapi tak sakit hati. Karena aku memang hanya ingin berteman dengannya.
“Iya. Kita hanya berteman. Tak lebih. Saya hanya tak mau menutup-nutupinya saja. Soal tanggapanmu saya tak terlalu memikirkannya. Maaf telah membuatmu nggak nyaman karena smsku kemarin.” Ku balas dengan penuh derai yang tertahan. Ku paksakan dan sempatkan tersenyum dalam-dalam. Ternyata aku berharap dia juga menyimpan rasa untukku. Ah… aku masih egois. Bukan mencinta karena Allah.
“Terima kasih atas pengertianmu. Lebih baik ku kejar cita-citamu. Begitu pun aku.”
“Ya. Terima kasih pula telah menjadi teman dalam beberapa bulan ini. Ku tak akan melupakan persahabatan yang pernah terjalin ini. Semoga kau sukses dengan mimpi-mimpimu.”
“Ya. Terima kasih. Kau juga.”
Ku tutup ponsel. Menghela napas panjang. Mungkin memang ini akhirnya. Jalan yang terbaik. Dan aku tetap dengan perasaanku. Beserta cinta yang harus ku miliki untuk calon tunanganku. Ah... ayah... ibu... Kalian tempatku untuk pasrah dengan segala yang kalian putuskan atas diriku.

08 Agustus 2015
Hari pertunangan...
Cincin telah bertumpu di jari manis. Keluargaku dan keluarga pak Halim bahagia. Tapi aku tidak. Bayangan dan letup suara Itsbat masih terngiang dalam ingatan. Maulana, turut bahagia. Aku tersenyum simpul melihat suasana bahagia yang tenang di salah satu ruang rumah kami. Bu Ulfa, ibu Maulana memelukku. Begitu pula ibuku, memeluk Maulana. Aku tetap mematung.

 Ya Allah... ijinkan aku menyerahkan jiwa dan diri ini. Aku tak bisa membuang perasaan ini sepenuhnya. Ku kira, dia akan menjadi pelita di saat aku redup. Lelaki yang ku tahu memiliki ilmu-Mu yang luas di hatinya. Lelaki yang tiap detak nafas selalu karena-Mu. Dan Kau tak menakdirkannya untukku. Maka, jadikan aku perempuan yang tabah dan kuat atas takdir cinta-Mu. Dengan segala upaya agar aku bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Aku akan menjalaninya. Untuk-Mu...

Kembali ke pantai...
Laut biru itu masih seperti sedia kala. Tak ada yang berubah. Kecuali satu. Laut biru itu tak lagi menjadi milikku. Dia pergi...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar