Mengenai Saya

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
cantik, luwes, baik hati, and up to date

Senin, 28 Oktober 2013

Nurbaya dari Tanah Madura



/1/
Aku tak tau apa itu
Hanya sebuah pemberontakan tak tersampaikan
Lebih tepatnya gejolak yang semakin bertambah-tambah

Aku lahir dari rahim pulau garam
Pulau asin dengan olak alik budaya di dalamnya
Gadis belia bunga desa
Putri semata wayang
Dari bangsa punggawa

Nurul yang sering berceloteh dengan langit senja
Di tepi laut pinggiran Madura
Bersajak dengan himpitan ombak berbuih
Di pasir putih

/2/
Merenung, dan melamun
Memikirkan si Hanafi
Yang terus berkelana mengarungi belantara
Perasaan itu tak kunjung pergi
Si Hanafi, si Hanafi
Hanafi, dan Hanafi
Sajak kerinduannya pada Tuhan
Membuat Nurul terkapar
Antara dirinya dan Tuhannya
Dia mengajarkannya sebuah romantika
antara Tuhan dengan hamba-Nya
Mengajarkan ketulusan
Memilih Allahnya dalam hidupnya
Menentukan Islam agamanya
Serta menentukan untuk taat pada ajarannya

DIA yang ku sebut dalam shalat,
Menampakkanmu dalam bayangan
Menjelaskan siapa dirimu dalam diriku
Kau lahir dari jeratan kemiskinan
Terlantar dan melarat
Namun bukan itu yang ku pikirkan
Cintamu Hanafi, cintamu
Kecintaanmu pada ilmu dan Tuhan
Kau bebas,
Melanglang memenuhi nafsumu
Menelan banyak ilmu dan kearifan
Bukan aku yang mendekam dalam istana emas

/3/
Pagi di halaman masjid dekat rumah
Ku lihat seorang laki-laki sedang memejamkan mata
Merentangkan kedua tangannya
Meresapi aroma pagi melalui hidungnya
Aku tak tau apa yang sedang dilakukannya

Ku tanya, kau sedang apa?
Menikmati aroma kehidupan yang Tuhan berikan, jawabmu
Ku Tanya, apa itu?
Kau jawab,
Desahan napas, aliran darah, pikiran jernih,
Dan yang terpenting adalah…
Kesempatan yang diberikan padaku
Untuk memeluk agama islam
Kata-katamu sungguh menyentuh
Berbeda dengan ustadz-ustadz yang selalu berorasi
Sesuka hati mereka
Aku terpaku melihatmu,
Sedang kau asyik masyuk dengan dirimu
Aku pun pergi memasuki rumah
Dengan terus menatap ke arahmu

Hari berganti hari,
Aku pun tak melihatmu lagi sejak pertemuan itu
Lalu…
“Pergi kau dari sini anak muda! Dasar tak tahu sopan santun!!!”
Ku dengar suara ayah menghardik seorang laki-laki
Laki-laki itu pun pergi dengan wajah tertunduk
Ketika ku hampiri ayah,
Dengan amarah ayah berkata,
“Dasar santri kurang ajar. Tidak tahu dia kalau ini dhalem kyai”
(sebuah sebutan khusus untuk kediaman seorang kyai)

/4/
Pagi hari aku berjalan-jalan di pelataran pesantren
Ku coba berjalan di sekitar kediaman pamanku
Dan ku lihat lelaki itu lagi
Dengan baju compang camping,
Wajah kusut dan berdebu
Ku dekati dia,
Dan ternyata dia tak menghindar
Dia berkalung tembakau dan korek api
Aneh dan janggal
Lalu di berkata,
“Banyak orang tak melupakan rokok mereka sejenak
Saat mereka menghadap Tuhan-Nya”
Seolah-olah dia mengerti apa yang terbesit dalam benakku
Lalu dia pergi
Dan aku hanya diam terpaku
Ku Tanya orang-orang,
Mereka menjawab,
Kau manusia sesat dan gila
Mencari makan dari setumpuk sampah
Kaleng dan botol bekas
Dengan sejumput pakaian lusuh yang usang
Aneh dan gila
Banyak orang yang menjauhimu
Banyak pula yang membencimu
Lantaran sikapmu yang terlalu bebas pada Tuhan dan manusia
Tapi entah kenapa aku tak melihatmu dari hal itu
Kau memiliki sesuatu yang tak banyak orang memiliknya
Kau mempunyai sesuatu yang aku pun sedang mencarinya
Pikiran itu terus membayangi otakku
Mengganggu aktivitasku
Dan wajah lelaki itu tak lepas dari ingatanku

/5/
Lama aku tak melihatnya lagi di sekitar pesantren
Dia seperti hilang di kedalaman laut biru
Samping rumahku, desa Talango
Aku pun merasa resah,
Terasa ada yang hilang dari diriku
Aku hanya berjalan mondar-mandir di depan rumah
Bingung akan berbuat apa
Aku tak bisa diam saja,
Aku harus melakukan sesuatu, pikirku
Aku berjalan menuju rumah paman Husni
Disana ku temui seorang santriwati yang sedang menyapu halaman
“assalamu alaikum neng,” sapaan untuk seorang putri kyai besar di Madura[1]
“waalaikmus salam,” jawabku
Ku tanya ini dan itu tentangmu pada perempuan itu
Katanya, kau memang lelaki aneh dan gila
Kau selalu berpakaian lusuh dan usang
Kau selalu mengembara mencari ilmu dan Tuhan
Dan kau selalu menentang segala tatanan sosial masyarakat desa
Terakhir,
Kau adalah santri pamanku, bernama Mohammad Hanafi
Ah… laki-laki itu tetap mengganjal dalam pikiranku
Aku penasaran dan ingin tahu

/6/
Akhirnya, aku dapat bertemu dengannya lagi
Tak sengaja saat ku mengantar kiriman dari abah
Di samping rumah paman,
Kau bercengkrama dengan alam
Aku terpaku
Aku terdiam
Hatiku luluh
Tubuhku kaku
Melihat laki-laki itu bersajak dengan alam
Suaraku kelu
Mulutku tergagap
Saat kau bertanya hendak kemana
Apakah kau tak tahu bahwa aku ini putri kyai Ahmad?
Kau seperti acuh dan tak peduli
Kau bertingkah seenaknya di depanku
Kau tak beretika saat bertemu denganku
Aku merasa kau makhluk yang aneh dan kerdil

Tiba-tiba paman keluar menyapa
Menghampiri kami berdua
Mengenalkanku padanya
Dan dia padaku
Aku mengikuti pamanku ke dhalem[2]
Dia menceritakanku tentang laki-laki bernama Hanafi itu
Aku disuruh menemuinya untuk bertanya banyak hal
 Dan percakapan pagi itu pun usai ketika jam menunjukkan pukul 8.00

/7/
Kini aku punya kebiasaan baru
Bertemu dan berbincang banyak hal dengan Hanafi
Katanya, manusia tak perlu mengharapkan surga dan neraka
Jika hanya untuk mengharap balasan surga dan neraka,
Manusia tak perlu ber-Tuhan
Dia hanya ingin mereguk kenikmatan mencintai Tuhan Allah dalam hidupnya
Ah… aku menyukainya
Tiap hari aku menemuinya di samping rumah paman

Hingga suatu hari…
“Nurul!!!
Suara laki-laki membentak dan menghardikku
Abah memergoki kami dari belakang
Aku ketakutan
Abah terlihat geram melihat kami berdua
Padahal kami tak berbuat apa-apa
Bahkan jarak kami terlampau jauh
5 meter!
Ah… aku tak mengerti
Abah menarikku dengan paksa
Meninggalkan Hanafi yang terlihat lugu dan tak mengerti

/8/
Aku terhempas di atas kasur kesayanganku
Hatiku sakit,
Perih…
Kata-kata abah kasar, menakutkan
Seolah-olah aku bukan anaknya
Aku tak berbuat apa-apa
Aku tak bersalah
Tapi mengapa abah semarah itu?
Aku hanya ingin belajar banyak hal pada lelaki ajaib itu
Bukan berbuat hal yang tak pantas
Hardikan, celaan dan makian abah lontarkan padaku
Terutama pada Hanafi
Aku yang tak tahu malu
Tak punya harga diri
Tak beretika
Dan bla… bla… bla…
Entah apa lagi yang ku ingat
Kepalaku terlalu pusing mengingat cacian itu
Abah menghina Hanafi dengan sebutan lelaki kotor dan miskin
Karena dia berasal dari keluarga kasta rendahan
Bukan seperti kami yang keturunan darah biru
Ummi hanya menangis dan berusaha menghalangi abah yang terus-terusan memukuliku
Tapi abah tetap tak menghiraukannya
Aku berusaha menjelaskan yang sebenarnya pada abah
Tapi tak berhasil
Suaraku kalah jauh dari hentakan suara abah
Abah tak mendengarkanku
Abah tak mau mendengarkanku
Kejadian siang itu bagai petaka dalam rumah kami
Aku tak pernah melihat abah semarah dan sekasar itu
Aku ketakutan
Tamparan mendarat tepat di pipi
Saat aku bertanya
Kenapa harus menjaga jarak dengan orang lain yang tidak sederajat dengan kami?
Abah meninggalkanku begitu saja
Karena sudah tak tahan padaku
“Ajari anakmu dengan baik”
Begitu kata terakhir abah kepada ummi
Hingga aku pun berlari menghambur ke dalam kamar
Tak ku hiraukan panggilan ummi dari balik pintu kamar
Hatiku sangat sesak
Hidup seperti ini sangat menyiksaku
Terkungkung dan terpenjara
Kelihatannya saja aku hidup bahagia
Hidup dilayani banyak santri bak seorang putri raja
Minta ini dan itu
Perintah ini dan itu
Dan tak perlu bekerja keras untuk menghasilkan uang
Karena sumbangan dari tiap-tiap orang yang datang ke rumah kami
Sangat cukup bahkan lebih untuk mengisi perut kami
Hidup dalam kebenaran yang palsu
Baik salah atau benar, jika yang berkata adalah seorang kyai,
Maka Sami’na Wa Atha’na[3]
Tanpa dipikir apakah itu benar ataukah salah

/9/
Sudah dua jam aku mendekam dalam kamar
Ku biarkan angin dari luar jendela menyapa tubuhku
Semerbak gerimis sedikit demi sedikit membasahi kulitku
Langit mulai mendung
Seakan ikut merasakan getir hatiku
Panggilan dari pengasuhku[4] tak jua ku dengarkan
Pikiranku terlalu disibukkan dengan bayangan Hanafi
Kira-kira apa yang sedang dilakukannya?
Marahkah dia?
Aku tak mau dia merasa malu dan terhina dengan sikap abah siang tadi
Aku tak mau dia menjauh karena takut pada abah
Pikiran-pikiran aneh terus saja menghantuiku
Semoga saja tak terjadi apa-apa, harapku

/10/
Pagi hari, aku tetap menemui Hanafi
Tapi baru saja beranjak dari depan rumah,
Seorang santri perempuan mungil menghampiriku
 Katanya dia diperintahkan abah untuk selalu menemaniku kemana pun aku pergi
Ah… apa lagi ini?
Abah seperti anak kecil saja, gerutuku dalam hati
Aku ikuti kemauan abah
Mau apa lagi?
Sebagai putri kyai aku harus menaati aturan dan strata sosial yang ku sandang
Gadis itu pun mengikutiku dari belakang
Aku berusaha mengalihkan perhatiannya padaku
Ku suruh dia pergi mencari bukuku di kamar
Saat ku lihat sosok Hanafi tengah berdiri
Ketika telah berada didekatnya,
Dia tak berkata apa-apa
Dia malah memberiku selembar kertas ber-amplop
Kuno, begitu kesan pertamaku melihatnya
Di zaman multimedia ini, masih ada orang yang menyampaikan pesan lewat surat
Ku lipat surat itu ke dalam saku baju
Dia pun pergi

/11/
……
Aku menemukan kedamaian dalam matamu
Dan aku ingin meneguknya seteguk demi seteguk
Bantu aku untuk membawa rasa ini
Sajak terakhir yang ku baca dari surat Hanafi
Mengguncangkan naluriku
Perasaan yang sering berkecamuk dalam hati
Ternyata dia rasakan pula
Lalu apa yang harus ku lakukan?
Menuruti perasaan ini atau menepisnya?
Terlihat wajah abah yang memelas saat membelai kepalaku di senja hari
Abah meminta maaf atas sikapnya yang berlebihan tempo hari
Dia sayang dan teramat cinta padaku sehingga bersikap seperti itu
Abah mengingatkanku akan status sosial yang kami sandang
Keluarga besar kyai harus bisa menjaga sikap dan tingkah laku mereka
Terlebih untuk persoalan cinta
Cinta harus tunduk pada aturan
Cinta hanya dongeng pembawa tidur belaka
Yang ada hanyalah pernikahan
Cinta tak punya kuasa apa-apa terhadap hidup seseorang
Bahkan cinta harus tunduk pada hidup
Aku menangis dalam hati
Memejamkan mata sekedar meredam gemuruh yang bergejolak
Perlahan air mataku mengalir
Tanpa terasa…

/12/
Suatu pagi aku mencoba menemui Hanafi lagi
Ingin sekali ku katakan bahwa aku pun juga mencintainya
Tapi keadaan yang tak mengijinkan
Ingin ku katakan bahwa aku juga memikirkannya
Rindu yang sesak memintaku untuk datang menemuinya
Tapi apa yang ku dapati?
Abah menampar Hanafi tepat di depan mataku
Seketika aku memohon pada abah untuk berhenti
Tapi abah tetap bersikukuh
Abah menghinanya lagi
Lagi,
Dan lagi
Hanafi hanya tertunduk dan tersenyum
Laki-laki itu, apa yang dia mengerti
Kau terlalu lugu Hanafi
Ah… abah tahu tentang hubungan kami
Bahkan sebelum kami menyadarinya
“Aku mencintainya abah,”
Tak sengaja terlontar pengakuan itu
Abah semakin murka
Si miskin ini?
Si kotor ini?
Si kerdil ini?
Hatiku merintih mendengar kata-kata itu
Tolong jangan salahkan perasaaan kami,
Jangan salahkan kami, rintihku
Apa yang kau lihat dari lelaki ini Nurul? Bentak abah
Aku tak melihat apa-apa selain Tuhan dalam hatinya
Aku hanya mencintainya
Aku tak mampu mengatakan itu semua
Abah menyeretnya ke hadapan santri yang bergumul di depan musalla
Aku tak kuat melihatnya
Aku berlari ke dalam kamar
Ku lihat dari balik jendela
Hanafi di tendang dan dipukuli
Aku menangis
Hingga ku lihat dia diusir dari pesantren
Aku tersakit-sakit melihat tragedi itu
Dengan dalih mencuri, Hanafi layak dikeluarkan dari pesantren
Skenario apa yang sedang abah lakoni
Aku hanya meratapi kepergiannya yang terus menghilang di ujung jalan

/13/
Usai menghajar Hanafi habis-habisan,
Abah menemuiku di kamar dan berkata,
“Kau akan abah jodohkan. Dia anak kyai seperti kita”
Ucapan abah menghancurkan perasaanku
Baru saja aku kehilangan orang ku cintai,
Kini aku harus menelan kenyataan lain
Untuk apa abah mengagung-agungkan kehormatan?
Untuk apa abah mengagung-agungkan martabat?
Jika tak bisa menjaga kehormatan orang lain
Ku kejar abah keluar kamar dan berteriak,
“Aku hanya mencintai Hanafi, dan tak akan menikah dengan selain Hanafi!
Mata abah memerah mendengar ucapanku
Kau mencintai lelaki itu?
Apa yang kau lihat darinya?
Apa yang akan kau dapatkan dari lelaki macam dia?
Kau akan melarat
Hidupnya saja susah, apa lagi menanggung hidupmu pula
Kita keluarga terhormat, bermartabat, terpandang di masyarakat
Mana mungkin kau akan menikah dengannya?
Apa kata orang?
Kau hanya akan menjadi sampah masyarakat yang tak diperhitungkan
Kau bodoh Nurul
Kau bodoh!
Kecuali jika kau menikah dengan orang yang sederajat dengan kita,
Kau akan sentosa
Tak usah kau pikirkan lelaki itu
Aku tak menyangka abah akan berkata seperti itu
Terbayang di mataku betapa sakitnya Hanafi diperlakukan seperti itu
Betapa malunya dirinya dihina dan dipermalukan di depan banyak orang
Hanafi…
Dimanakah kau sekarang?

/14/
“Assalamu alaikum”
Paman Husni mengunjungi kami
Ku lihat rautnya seperti memendam amarah
Abah mempersilahkannya duduk
Ku hidangkan teh,
Lalu paman bertanya,
“Apa yang telah kau lakukan pada muridku?”
Dengan acuh, abah bersikap seolah-olah tidak tahu
“Apa yang telah kau lakukan pada muridku Hanafi?”
Paman mengulang pertanyaannya
Abah berkata bahwa dia telah mengganggu diriku
Dia berlaku tak pantas padaku
Padahal itu semua omong kosong
Paman tak percaya ucapan abah
Tak mungkin Hanafi berani melakukan itu
Paman pun membantah ucapan abah
Abah marah dan mengusir paman
Mereka berselisih hingga terjadi pertengkaran
Lalu paman pergi meninggalkan abah
Batinku meringis
Apa lagi yang akan terjadi?
Ku peluk ummi yang sedang duduk termenung di halaman belakang
Sabar nak, sabar…
Hanya itu yang terucap dari bibirnya
Dia tahu bagaimana perasaanku
Tapi itu tak mungkin mengubah keputusan abah
Ummi…
Ku peluk erat ummi
Aku lelah ummi, lirihku dalam dekapan

Hingga tiba hari pertunanganku,
Aku tetap tak keluar dari kamar
Aku masih merindukan Hanafi
Sosok yang menenangkanku dengan Allah-nya
Pikiranku melayang ke negeri antah berantah
Entah kemana
Mengembara seperti Hanafi yang sedang mengelana
Kata paman, dia baik-baik saja
Dia masih mencintaiku
Tak sedikit pun Hanafi memendam dendam
Ah… lelaki itu memang ajaib
Dan itu yang membuatku tergila-gila padanya

/15/
Pada hari yang sama pula,
Abah telah menetapkan hari pernikahanku
Lelaki yang bernama Mahmud akan melaksanakan ijab qabul
Aku tak mengenalnya
Bahkan baru melihatnya kali ini
Apa yang akan ku lakukan?
Aku tak tahu
Peristiwa demi peristiwa telah menguras banyak tenagaku
Hingga hari pernikahan pun,
Tak ada semburat senyum yang merekah di bibirku
Wajahku pucat, seperti mayat hidup
Beberapa hari aku tidak makan
Bahkan untuk minum pun aku enggan
Pusing dan sesak napas tak mampu menandingi letihnya hatiku
Aku juga tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini

Ya Allah,
Hanya kepada-Mu kami menyembah,
Dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan[5]

/17/
Senja yang kuning kini memerah
Tanda sore telah berganti petang
Aku beranjak dari lamunanku dari tepi pantai
Pantai dengan pasir putih
Tempat dimana aku merindukan masa laluku bersama Hanafi
Pantai yang meneduhkan siapa saja yang mengunjunginya
Bahkan untuk pesakitan sepertiku yang telah ditinggalkan suami tak bertanggung jawab

Rasa ini tetap sama,
Walau kenyataannya berbeda
5 tahun setelah kepergianmu,
Aku tetaplah Nurul yang kau kenal
Aku menanggung beban ini sendiri
Tanpa henti berharap
Kau akan datang kembali
Di ujung jalan saat kau pergi




SEKIAN



[1] ‘Neng’ adalah panggilan khusus untuk putri kyai dan bu nyai yang masih muda di pulau Madura
[2] Sebutan khusus untuk kediaman atau rumah kyai dan bu nyai di Madura.
[3] Artinya kami mendengarkan dan kami taat. Semboyan santri kepada kyainya yang menggambarkan bahwa mereka patuh pada perintah sang kyai.
[4] Setiap putra dan putri kyai di Madura selalu mempunyai seorang pengasuh perempuan yang telah lama nyantri di pesantrennya.
[5] Alquran, surah al-Fatihah ayat 5

Kamis, 03 Oktober 2013

Cintaku di Ujung Tanduk


cintaku di ujung tanduk pecah,

hancur, bercerai berai tak bersisa

kekasih pun tiada   

kekasih yang menemui ajal   
menyeret cinta ke ujung neraka 

membuang sayang ke bara api 
aku menggigil memegangi diri

seakan2 candu yg menyiksa   
aku tersakit sakit 
menggeret kaki patah setengah betis 

oh cinta...   
kau akan hancur bersama keping2 rindu yg telah terangkai indah

indah kau akan hilang
di saat wktu yg lain menarikku pergi 

kau akan rapuh seiring dengan waktu yg membawa keadaan berbeda
dan kau hanya akan jadi kenangan indah

dalam bayang semu yang menyakitkan

kau kan jadi kenangan manis dalam lembaran hidupku yang baru 


dan aku pun hanya akan mengerang dg langkah kaki pergi menjauh


sejauh bintang di langit yg tinggi