Mengenai Saya

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
cantik, luwes, baik hati, and up to date

Kamis, 27 Juni 2013

Perbuatan Tuhan dan Manusia dalam Perspektif Aliran Mu'tazilah dan Asy'ariyah



     Mu’tazilah, yang merupakan aliran kalam penjunjung rasio, mengemukakan bahwasanya perbuatan Tuhan hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang baik saja. Tuhan tidak melakukan perbuatan-perbuatan buruk karena Dia mengetahui keburukan dari perbuatan buruk itu. Qadi Abd al-Jabbar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk, sehingga Tuhan tidak perlu ditanya mengapa Dia berbuat baik. Firman Allah swt. dalam Surah Al-Anbiya Ayat 23:
لا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (٢٣)
"Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai."

Oleh karena itu, aliran Mu’tazilah ini berkeyakinan bahwa keadilan Tuhan itu selalu sejajar dengan kehendak-Nya yang membuat Tuhan itu sendiri memiliki kewajiban terhadap manusia. Kewajiban itu yaitu kewajiban untuk berbuat baik terhadap manusia. Doktrin-doktrin mengenai kewajiban Tuhan yang dimunculkan oleh aliran ini yaitu:
1.      Kewajiban Tuhan untuk tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.
Artinya, Tuhan berkewajiban memberikan beban kepada manusia sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri. Sebab, jika Tuhan memberi beban di luar kemampuan manusia, berarti Tuhan tidak berbuat baik terhadap manusia dan hal ini bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil, jika Dia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.[1]
2.      Kewajiban mengirim Rasul.
Aliran Mu’tazilah berpendapat, bahwasanya manusia tidak mampu mengetahui semua tentang Tuhan dan alam ghaib. Oleh karena itu, wajiblah bagi Tuhan untuk mengirimkan Rasul kepada manusia sebagai petunjuk jalan yang bisa diikuti oleh manusia.
3.      Kewajiban menepati janji dan ancaman sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Alquran.
Dalam Alquran dijelaskan bahwa, Tuhan berjanji akan memberi pahala orang yang bertakwa dan patuh kepada-Nya, serta mengancam orang-orang yang durhaka atau kafir kepada-Nya. Janji Tuhan di atas yaitu berupa pahala atau surga, sedangkan ancaman yang akan Tuhan berikan adalah siksa atau neraka. Bagi kaum Mu’tazilah, janji dan ancaman ini haruslah ditepati oleh Tuhan. Tuhan dikatakan tidak adil, jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat.
                                        
Kewajiban-kewajiban di atas merupakan doktrin ketuhanan yang dimunculkan oleh kaum Mu’tazilah. Di sisi yang lain, kaum Asy’ariyah berbeda pendapat dengan kaum Mu’tazilah. Al-Ghazali menegaskan bahwa, Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik terhadap manusia, tetapi Tuhan dapat berbuat sekendak hati-Nya terhadap makhluk. Namun, bukan berarti Allah bersifat dzalim. Dengan demikian, paham aliran Asy’ariyah bertentangan dengan paham atau doktrin Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki kewajiban. Aliran ini berkeyakinan bahwa, Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, dan tak memunyai kewajiban apa-apa. Sehingga, Tuhan boleh memberikan beban kepada manusia di luar kemampuan manusia itu sendiri, dan tidak berkewajiban untuk mengirimkan Rasul kepada manusia. Berbeda halnya dengan paham Mu’tazilah di atas. Selain paham tersebut, aliran Asy’ariyah juga meyakini bahwa Tuhan juga tak memiliki kewajiban untuk menepati janji dan ancaman-Nya. Orang-orang yang disebutkan dalam Alquran sebagai orang yang akan mendapat siksa karena berbuat jahat bukanlah manusia seluruhnya, melainkan sebagian orang saja yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam akan mendapat hukuman bukan semua orang, tetapi sebagian saja. Yang sebagian itulah yang akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dari sinilah, jelaslah perbedaan pemikiran kalam aliran Mu’tazilah dengan aliran Asy’ariyah.


[1]  Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 155

Keutamaan Salat tahajud



         Tahajud, dari kata tahajjada memiliki arti sahara (tidak tidur di malam hari) dan bangun untuk salat malam. Menurut Ath-Thabari, Tahajud adalah terjaga setelah tidur.[1] Salat tahajud merupakan salat sunnah muakkad atau sunnah yang sangat dianjurkan melaksanakannya.  Dalil yang menunjukkan kesunnahan salat tahajud tersebut dijelaskan dalam Alquran Surah Al-Isra’ Ayat 79:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.

Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwasanya salat tahajud merupakan salat yang diutamakan diantara salat-salat sunnah yang lain. Keutamaan salat tahajud dibandingkan salat sunnah lainnya antara lain dapat menghapus dosa, dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa, mengangkat derajat seseorang ke tempat yang terpuji, menyehatkan badan, dan mendapatkan rahmat Allah. Sabda Rasulullah Saw.:
Dari Bilal, Rasulullah Saw. bersabda: “Hendaklah kalian melaksanakan salat malam, karena sesungguhnya ia adalah jalan orang-orang saleh sebelum kalian. Salat malam itu mendekatkan diri kepada Allah, mencegah perbuatan dosa, penghapus keburukan-keburukan dan menghilangkan penyakit yang berada di badan.” (HR. At-Tirmidzi)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda: “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang bangun malam lalu mengerjakan salat, membangunkan istrinya lalu salat. Apabila istrinya menolak maka dia memerciki air ke wajahnya. Allah akan memberi rahmat kepada wanita yang bangun malam lalu salat dan membangunkan suaminya lalu salat. Apabila suaminya menolak maka dia memerciki air ke wajahnya.” (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, dan Hakim)
Dari hadis di atas, jelaslah keutamaan yang diperoleh bagi orang yang melaksanakan salat malam atau tahajud. Selain hadis-hadis di atas, masih banyak lagi hadis Rasul yang menjelaskan tentang keutamaan-keutamaan salat tahajud. Allah Swt. pun berfirman dalam Surah Az-Zumar dan Adz-Dzariyat:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الألْبَابِ (٩)
(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (١٥)آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ (١٦)كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (١٧)وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (١٨)
Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar.

Salat tahajud sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Rasulullah pun tidak pernah meninggalkan salat tahajud. Salat tahajud ini hanya bisa dilaksanakan setelah seseorang bangun dari tidur. Waktu untuk melaksanakannya antara salat Isya hingga terbit fajar. Di sela-sela waktu inilah terdapat waktu-waktu yang utama dan lebih utama. Waktu yang utama yaitu berkisar antara tengah malam hingga akhir malam, sedangkan waktu yang lebih utama yaitu pada akhir malam atau sepertiga malam hingga terbit fajar waktu shubuh. Dengan melaksanakan salat tahajud tersebut, seseorang bisa mendekatkan diri kepada Allah, serta dapat memohon ampun kepada-Nya. Sebab, pada waktu inilah Allah membuka pintu rahmat-Nya untuk makhluk-Nya yang ingin bertaubat.


[1] M. Yazid Nuruddin, Tahajud, Sungguh Ajaib, (Solo: Insan Media, 2008), hlm. 17

maka, Mati

aku mati,
dan aku pun tewas
dalam perang cinta bersama bulan
sebab yang menerpa membadai bumi
menghanyutkan puing-puing kenaifan diri
maka jika tetap tak menanti

akan tiba suatu petaka hebat
mengguncang langit dari bumi
menebas surga dengan lebam
yang terhunus di belahan cakrawala langit

tak sekedar menggoyangkan air dalam bejana
untuk anggur yang memabukkan
tak terperi
akan lebih sakit dari duri kaktus hijau
di padang sahara
dengan sayatan merah di hati