Mu’tazilah,
yang merupakan aliran kalam penjunjung rasio, mengemukakan bahwasanya perbuatan
Tuhan hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang baik saja. Tuhan tidak
melakukan perbuatan-perbuatan buruk karena Dia mengetahui keburukan dari
perbuatan buruk itu. Qadi Abd al-Jabbar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan
bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan Mahasuci dari perbuatan buruk, sehingga
Tuhan tidak perlu ditanya mengapa Dia berbuat baik. Firman Allah swt. dalam Surah
Al-Anbiya Ayat 23:
لا
يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ (٢٣)
"Dia tidak ditanya tentang apa yang
diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai."
Oleh
karena itu, aliran Mu’tazilah ini berkeyakinan bahwa keadilan Tuhan itu selalu
sejajar dengan kehendak-Nya yang membuat Tuhan itu sendiri memiliki kewajiban
terhadap manusia. Kewajiban itu yaitu kewajiban untuk berbuat baik terhadap manusia. Doktrin-doktrin
mengenai kewajiban Tuhan yang dimunculkan oleh aliran ini yaitu:
1.
Kewajiban
Tuhan untuk tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.
Artinya, Tuhan berkewajiban memberikan
beban kepada manusia sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri. Sebab, jika
Tuhan memberi beban di luar kemampuan manusia, berarti Tuhan tidak berbuat baik
terhadap manusia dan hal ini bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan
Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil, jika Dia memberi beban yang terlalu
berat kepada manusia.[1]
2.
Kewajiban
mengirim Rasul.
Aliran Mu’tazilah berpendapat,
bahwasanya manusia tidak mampu mengetahui semua tentang Tuhan dan alam ghaib.
Oleh karena itu, wajiblah bagi Tuhan untuk mengirimkan Rasul kepada manusia
sebagai petunjuk jalan yang bisa diikuti oleh manusia.
3.
Kewajiban
menepati janji dan ancaman sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Alquran.
Dalam Alquran dijelaskan bahwa,
Tuhan berjanji akan memberi pahala orang yang bertakwa dan patuh kepada-Nya,
serta mengancam orang-orang yang durhaka atau kafir kepada-Nya. Janji Tuhan di
atas yaitu berupa pahala atau surga, sedangkan ancaman yang akan Tuhan berikan
adalah siksa atau neraka. Bagi kaum Mu’tazilah, janji dan ancaman ini haruslah
ditepati oleh Tuhan. Tuhan dikatakan tidak adil, jika tidak menepati janji
untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman
bagi orang yang berbuat jahat.
Kewajiban-kewajiban di atas merupakan doktrin ketuhanan
yang dimunculkan oleh kaum Mu’tazilah. Di sisi yang lain, kaum Asy’ariyah
berbeda pendapat dengan kaum Mu’tazilah. Al-Ghazali menegaskan bahwa, Tuhan
tidak berkewajiban berbuat baik terhadap manusia, tetapi Tuhan dapat berbuat
sekendak hati-Nya terhadap makhluk. Namun, bukan berarti Allah bersifat dzalim.
Dengan demikian, paham aliran Asy’ariyah bertentangan dengan paham atau doktrin
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki kewajiban. Aliran ini
berkeyakinan bahwa, Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, dan tak memunyai kewajiban
apa-apa. Sehingga, Tuhan boleh memberikan beban kepada manusia di luar
kemampuan manusia itu sendiri, dan tidak berkewajiban untuk mengirimkan Rasul
kepada manusia. Berbeda halnya dengan paham Mu’tazilah di atas. Selain paham
tersebut, aliran Asy’ariyah juga meyakini bahwa Tuhan juga tak memiliki kewajiban
untuk menepati janji dan ancaman-Nya. Orang-orang yang disebutkan dalam Alquran
sebagai orang yang akan mendapat siksa karena berbuat jahat bukanlah manusia
seluruhnya, melainkan sebagian orang saja yang berbuat demikian. Dengan kata
lain, yang diancam akan mendapat hukuman bukan semua orang, tetapi sebagian
saja. Yang sebagian itulah yang akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan. Dari sinilah, jelaslah perbedaan pemikiran kalam
aliran Mu’tazilah dengan aliran Asy’ariyah.