Brruum…… suara mobil berderu.
“Makasih mas…,” ucap Delia pada
kekasihnya.
“Besok aku
jemput kamu di depan kampus ya kalau mau beli buku,” kata Ryan.
Delia pun
mengangguk senyum.
Hari itu begitu indah bagi mereka berdua, terutama setelah pertunangan itu.
Delia yang manja, membuat Ryan jatuh cinta meski harus berjuang melawan Dimas.
Cinta yang hanya bermula dari perkenalan tak disengaja oleh kedua orang tua
mereka.
5 tahun yang lalu...
“Hari ini acaranya seru ya?” ucap mama Ryan.
“Iya. Jadi kangen masa-masa sekolah dulu.” Sahut mama Delia.
“Maaaa...” Delia memanggil mamanya.
“Eh... Delia... Perkenalkan ini Delia, anak saya.”
“Delia tante.” Delia memperkenalkan diri.
“Iya... panggil saya tante Shela. Saya teman SMA mamamu dulu. Ya sudah,
saya pulang dulu ya jeng. Anak saya sudah menunggu di depan.”
“Ayo bareng aja sekalian. Ayo Del.” Mama Delia mengajak Delia pulang.
Sesampainya di depan aula, seorang laki-laki muda menghampiri tante Shela dan menatap
Delia dengan ibunya.
“Oh ya, perkenalkan jeng. Ini anak saya Ryan. Ryan, ini tante Prisil dengan Delia.” Ryan pun
menyalami keduanya.
Begitulah perkenalan sederhana itu. Namun, kisah ini tak cukup berhenti
disitu. Tanpa sengaja, Ryan melihat Delia sedang membagi-bagikan uang kepada
pengemis jalanan. Ryan hanya menatap dalam senyum Delia yang begitu tulus dan
ceria. Dia tak beranjak dari mobilnya, namun hatinya yang beranjak menyentuh
Delia. Tak lama, Ryan pergi dengan senyum tipis yang melekat di bibirnya.
Ternyata, diam-diam Ryan menyukai Delia setelah kejadian itu. Lalu...
“Aku nggak mau ma... Aku baru kenal Ryan. Aku belum tau dia yang
sebenarnya.” Delia membantah.
“Tapi Ryan laki-laki yang baik Delia. Lihatlah saat dia menjemput mamanya
dengan sopan dan menyambut kita dengan baik. Dia anak yang berbakti kepada
orang tuanya. Apa lagi yang harus dipertimbangkan? Mama punya keyakinan yang
kuat, bahwa Ryanlah yang bisa jadi imam yang baik untukmu dan anak-anakmu
kelak.” Ibunya menasehati Delia seraya pergi meninggalkan Delia di kamarnya.
Delia masih tak habis pikir dengan mamanya. Dia masih tak percaya dengan
rencana pertunangan itu. Begitu cepat dan mamanya memaksanya untuk menerima lamaran
Ryan. Delia frustasi.
Jika bukan saat ini kita bersama, mungkinkah suatu saat akan tiba?
Maaf...
Delia tersungkur dalam bait-bait doa Dhuha..
Mencari sepercik cahanya dalam sajadahnya
Air yang membasahi tubuhnya berubah air mata yang berderai
Ya Allah...
Bagaimana ini bisa terjadi???
Aku mencintai Dimas ya Allah...
Aku mencintainya
Dan aku mencintai mama, papa...
Aku sangat mencintai mereka
Bantu aku ya Allah...
Delia menutup doanya dengan hamdalah. Pucat wajahnya mengisyaratkan
keterpurukannya. Dia tak bisa menolak apapun keinginan orang tuanya. Tapi dia
juga tersiksa. Batinnya terluka, dan dia tak bisa berbuat apa-apa. Padahal hari
pertunangannya tinggal beberapa hari saja. Sedang ia belum memberitahu Dimas.
***
Siang hari di kampusnya, Delia mengunjungi kelas Dimas. Hari pertama kuliah
itu, Delia bermaksud menemui Dimas dan mengatakan semuanya. Tentang Ryan,
pertemuan tak disengaja, dan pertunangan yang tak diinginkan. Di kelas yang
sepi, Delia memulai obrolan.
“Dimas...”
“Ya sayang? Lama kita bertemu. Aku sudah sangat rindu. Apakah kau juga
rindu padaku? Dimas sumringah melihat Delia.
“Ah... ya. Aku juga.” Bisik Delia. Ia bingung untuk mengatakannya.
Dimas menyilahkan Delia duduk di sampingnya. Sambil mengelus kepalanya,
sesekali Dimas tersenyum manis kepada Delia. Sedang Delia sibuk memikirkan
kalimat pertama yang akan ia ucapkan.
“Dimas...” Delia masih tak beranjak dari kalimatnya. Masih sibuk dengan
kata-kata apa yang harus diucapkan, Dimas lalu berkata, “Kamu sekarang free
kan? Nonton yuk. Kebetulan aku juga gak ada jam.” Delia hanya mengangguk kecil.
Sesaat kemudian, sampailah mereka di bioskop kesayangan mereka.
Film pun diputar. Dimas menikmati film yang ditayangkan namun Delia
kebingungan. Ia tak bisa tenang memikirkan reaksi yang akan keluar dari wajah
Dimas jika ia sudah mengatakannya.
Seusai menonton, Delia mengajak Dimas makan siang. Di tempat itu... Delia
memberanikan diri mengatakan yang sejujurnya.
“Dimas... besok lusa aku bertunangan.” Ucap Delia dengan gugup.
“iya... kita pasti bertunangan Delia. Tapi kamu harus sabar. Tunggu aku
menyelesaikan skripsiku, lulus, dan baru setelah itu aku melamarmu. Oke
sayang??? Dimas meyakinkan.
“Mmmaksudku..., bbbukan kita yang bertunangan Dimmmas, taaapi... aaakku,”
ucap Delia terbata-bata.
“Kamu??? Bukan kita? Maksudmu??? Sebentar-sebentar... kamu mau bertunangan
Del? Dengan siapa??? Wajah Dimas memerah.
“Maaf Dim.. aku dijodohkan sama mama dan papa. Aku gak bisa berbuat apa-apa,
apa lagi membantah mereka.” Jawab Delia.
“Kamu tega ya Del... ternyata kamu tega banget. Nggak nyangka sama kamu!”
Dimas membentak Delia.
Dengan wajah menunduk, Delia berkata, “Maaf Dimas. Aku nggak bermaksud
untuk nyakitin kamu. Aku sudah berusaha meyakinkan mama. Aku benar-benar mencintaimu,
dan aku tak menyukai Ryan, calon dari mamaku itu. Tolong jangan salahkan aku,
aku tak tau harus bagaimana. Aku benar-benar bingung dan tertekan dengan semua
ini. Karena di samping itu semua, aku mencintaimu Dimas.” Tegas Delia dengan
linangan air mata.
Seketika Dimas terenyuh melihat Delia yang menangis. Dia pun mendekap Delia
dan mengusap air matanya.
“Ya sudah, maafkan aku juga Del. Aku sudah membuatmu menangis. Aku kira
kamu sudah tak mencintaiku lagi. Begini saja, besok kita ke rumahmu dan ngomong
baik-baik ke orang tuamu kalau kita saling mencintai.
Keesokan harinya, mereka menemui orang tua Delia di rumahnya.
Namun...
“Assalamualaikum. Ma.. pa... kenalin.. ini Dim...” Delia tertegun melihat
Ryan dan kedua orang tuanya sedang bertamu ke rumahnya. Belum hilang rasa
kagetnya, mamanya malah mengajak Delia duduk menemani kedua orang tua Ryan.
Dengan gugup, Delia pun mengajak Dimas untuk ikut menemui orang tua Ryan.
“Oh ya, siapa temanmu ini Del?” tanya mama.
“Dimas ma... pa... Dia pacar Delia.” Ucap Delia.
“Pacar?? Apa maksudmu Del?”
“Ya Dimas ini pacarku sejak setahun yang lalu ma.”
“Kamu! Del, besok hari pertunanganmu dengan Ryaan. Apa-apaan kamu ini!”
bentak mama Delia.
“Tapi Delia kan sudah bilang kemarin sama mama kalau Delia nggak mau ditunangkan!”
Tegas Delia sambil menarik Dimas keluar rumah.
“Delia!!!” mama dan papa Delia memanggilnya histeris.
“Sudah om, tante. Biarkan saja Delia pergi. Biar dia bisa menenangkan diri.
Jika memang Delia tidak menyukai saya dan tak mau bertunangan dengan saya.
Biarkan saja. Berikan kebebasan pada Delia untuk memilih dan memutuskan pilihan
hidupnya sendiri.”
Suara lembut Ryan mengusik Delia yang berjalan keluar rumah.
“Baik sekali dia mau menerima keputusanku,” batin Delia.
Delia pun pergi mengendarai motor bersama Dimas. Di sisi lain, Dimas hanya
diam melihat kejadian di depan matanya. Ia bingung untuk bertindak. Ia pun
bertanya pada Delia, “Kita mau kemana?”
“Terserah...” Delia pasrah.
Dimas pun membawa Delia ke kontrakannya. Tanpa rasa curiga, Delia langsung
masuk ke dalam kontrakan Dimas.
Dengan wajah murung, Delia bersandar di sofa panjang milik Dimas. Dia masih
depresi dengan kejadian di rumahnya. Sambil menitikkan air mata, Delia menatap
lekat-lekat wajah Dimas. Dimas lalu mengambilkan air minum untuk Delia dan ia
meminumnya.
“Aku tak tau harus bagaimana Dimas. Maafkan aku. Aku sudah berusaha. Kau
tau sendiri kan bagaimana tadi mama dan papa memaksaku?” isak Delia pada Dimas.
“Iya Del. Aku bisa mengerti bagaimana keadaanmu. Tenangkan dulu pikiranmu.
Ada aku disini. Kamu jangan khawatir.”
“Makasih banyak sayang...” Delia menghambur ke dalam pelukan Dimas. Dia
menumpahkan air matanya di bahu Dimas. Dia luapkan semua kepedihannya pada
Dimas. Dimas pun memeluknya erat sambil mengelus rambut Delia. Setelah Delia
mulai tenang, Dimas membaringkan Delia dan berkata, “Tenang sayang... Ada aku
disini. Kamu jangan khawatir.” Lalu Dimas mencium Delia. Delia yang saat itu
sedang bermasalah, tak menolak dengan ciuman Dimas.
Kemudian...
“Ya Allah... Astaghfirullah... apa yang aku lakukan?” Delia tersedu-sedu.
Begitu pula dengan Dimas yang tertunduk lesu.
“Maafkan aku Delia. Tolong jangan marah dan pergi dariku. Aku akan
bertanggung jawab. Aku janji.” Dimas berusaha meyakinkan Delia.
“Aku benar-bnear minta maaf Delia. Maafkan aku. Aku benar-benar khilaf dan
hilang kendali. Aku akan melamarmu. Aku janji.” Tegas Dimas dan Delia pun
kembali tenang meski hatinya bergemuruh.
“Kita harus bertaubat Dim. Kita harus memperbaiki diri mulai hari ini.”
Isak Delia.
“Iya sayang... kita bertaubat. Memohon ampun pada Allah. Aku mencintaimu
dari hatiku yang tulus Del.”
***
Esoknya di pesta pertunangan Delia...
Dari arah pintu, Delia menggandeng tangan Dimas dan membuat kedua orang tua
Ryan kaget. Masih dengan pendirian yang sama, Delia berkata, “Ma.. pa... aku
nggak mau ditunangkan dengan siapapun selain Dimas. Tolong mama dan papa
ngerti.”
“Kamu ini apa-apaan Del?! Mungkin kemarin kamu bisa kami maafkan. Tetapi
kenapa kamu berbuat seperti ini lagi?” papa Delia menggertak.
“Delia sudah katakan sejak awal pa, bahwa Delia nggak mau ditunangkan
dengan orang yang Delia nggak tau dia sebenarnya.”
Tak henti-hentinya Delia dan ornag tuanya beradu mulut. Hingga Ryan tak
sabar untuk berkata, “Baiklah, kalau memang itu yang kamu inginkan Del. Akan
aku turuti. Ma.. paa.... kita pulang saja. Anggap saja pertunangan ini tidak
pernah ada. Biarkan Delia bahagia dengan pilihannya sendiri. Om.. tante.. kami
pulang dulu. Delia, maafkan aku.” Akhir dari ucapan Ryan mengakhiri acara
pertunangan dan perselisihan Delia dengan orang tuanya.
“Mama nggak percaya dengan apa yang kamu lakukan Delia.”
“Saya mencintai Delia tante. Saya akan berusaha membahagiakannya.” Ucap
Dimas dengan tegas. Tapi orang tua Delia berlalu tanpa berkata apa-apa. Karena
tak ditanggapi, Dimas pun pamit pulang pada Delia. Usai Dimas pulang, mama
Delia memanggilnya untuk bicara.
“Delia, mama tau kamu adalah anak mama yang baik dan selalu patuh sama
perintah orang tua. Tapi kenapa sekarang kamu seperti ini? Mama selalu
menginginkan yang terbaik untukmu nak. Nggak ada orang tua yang menginginkan
keburukan terjadi pada anaknya, termasuk untuk soal jodoh. Mama sudah pilihkan
yang terbaik dan insya Allah shalih untukmu Del, tapi kamu malah menolaknya.”
Ucapan mamanya benar-benar menusuk ke dalam hati Delia. Ia tau bahwa mamanya
sangat menyayanginya. Sejak kecil, mamanya selalu merawatnya dengan baik bahkan
tak pernah tidur di saat ia sakit. Kenangan itu membuat air mata Delia meleleh.
“Ryan itu laki-laki shalih Del. Mama tau itu. Dia laki-laki yang baik,
makanya dia melamarmu secara baik-baik, bukan malah memacarimu.” Ucapan mama
ada benarnya, hati Delia berbisik. Tapi keadaannya sudah berbeda, apa lagi
dengan kejadian yang dia alami bersama Dimas.
“Tapi kalau memang itu keuptusanmu, mama bisa apa? Kamu sudah mengambil
jalan hidupmu sendiri.” Mamanya pun keluar dari kamar Delia.
Bahagia sekaligus tersentuh dengan ucapan mamanya, batin Delia berkata,
“Aku akan bahagia bersama Dimas ma. Delia janji dan jamin bahwa Dimas pasti
bisa membahagiakan Delia. Doakan ya ma...”
Hari demi hari pun Delia lalui dengan kebahagiaan bersama Dimas. Dimas
benar-benar menepati janjinya. Sehingga pada suatu hari...
“Del... Delia... Sini sayang.. Aku punya kabar baik.” ujar Dimas bahagia.
“Ada apa sih?”
“Sayang, tau nggak? Ternyata aku diterima di National University of
Singapore. Alhamdulillah...” Dimas nampak sangat bahagia dengan berita
kelulusannya di universitas terkenal itu, tapi tidak dengan Delia. Wajahnya
berangsur murung. Perubahan mimik muka Delia pun mengundang pertanyaan sehingga
Dimas bertanya apa yang terjadi padanya. Lalu Delia berkata, “Aku akan jauh
darimu, dan kita akan berpisah dua tahun lamanya.” Dengan wajah tersenyum,
Dimas pun berkata,
“Tenang Del. Aku akan sering menghubungimu. Aku tak akan meninggalkan dan
melupakanmu. Aku janji.”
Ucapan Dimas menenangkan Delia, mengingat ia tak pernah luput dari
janjinya. Delia pun yakin bahwa Dimas tidak akan pernah meninggalkannya.
Dua minggu berikutnya, Dimas berangkat ke Singapura dengan ditemani Delia
saat pemberangkatan di bandara. Setelah saling meyakinkan satu sama lain agar
saling setia, akhirnya Dimas pun naik ke pesawat dan pergi ke Singapura
menggapai mimpinya.
***
2 tahun kemudian...
Delia resah dan sedih atas sikap
Dimas yang tak pernah mengangkat telponnya sejak setahun lalu. Tiap hari,
bahkan tiap bulan, Delia tak pernah lupa mengirim email ke Dimas sekedar bertanya tentang kabarnya namun
Dimas tak pernah menjawab telepon atau membalas emailnya. Dulu, jika sudah
begini Delia selalu berusaha menghibur diri bahwa Dimas hanya sibuk dengan
kuliahnya di sana dan menghilangkan pikiran-pikiran negatif tentangnya. Tapi
sebulan terakhir, pikiran Delia dirundung gelisah karena mendapat kabar dari
teman kuliahnya dulu yang juga melanjutkan pendidikannya di Singapura, bahwa
Dimas sedang berbahagia karena melangsungkan acara pertunangannya di sana.
Delia tak percaya jika Dimas akan melakukan hal itu kepadanya.
Hari berganti hari, Dimas tetap tak mengabari Delia, sedang Delia terusik
dengan sikap Ryan yang akhir-akhir ini kembali mendekatinya. Ia ingat betul
bagaimana Ryan berusaha menghalangi kuli pasar yang hampir saja bawaannya
mengenai kepala Delia. Juga pada saat tak terduga Ryan berada di kampusnya
karena menjadi pembicara pada suatu seminar yang menolong Delia ketika ia jatuh
di tangga depan aula. Kejadian-kejadian itu selalu terulang di benak Delia.
Lalu, pada suatu malam Ryan kembali melamar Delia dan bermaksud akan segera
menikahinya. Delia kebingungan karena Dimas masih saja tak mengabarinya dan
kini ia tak bisa dihubungi walau berkali-kali Delia memaksa meneleponnya.
Dengan kebingungan yang tak kunjung usai, akhirnya usaha Delia terhenti saat
mendengar orang tuanya menerima lamaran Ryan dari balik kamarnya. Delia
menyerah, apa lagi Dimas sudah melupakannya. Delia akan berusaha menuruti
kemauan mama dan papanya meksi dengan hati terpaksa.
Bulan pun berganti bulan baru. Kini usia pertunangan mereka hampir mencapai
3 tahun lamanya, dan Delia pun akhirnya dapat menerima Ryan dengan baik karena
sikap Ryan yang benar-benar menghargainya. Sedikit demi sedikit, Delia mulai
bisa melupakan Dimas, masa lalunya. Ia memulai kehidupan yang baru bersama Ryan
dan berencana akan menikah tahun depan.
Hari itu, Delia hendak membeli buku sebagai suvenir pernikahannya. Dia dan
Ryan sudah mulai mempersiapkan perlengkapan pernikahan mereka bahkan 6 bulan
sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Saking bahagianya, sampai-sampai Delia
kelelahan karena mencari buku yang pas untuk suvenir pernikahannya itu.
Akhirnya, Ryan mengantar Delia pulang dan sesampainya di rumah...
“Maaf mas, anda mencari siapa?” sapa Delia pada seorang lelaki di depan
rumahnya.
“Delia...??? kamu Delia kan?”
“Dimas...???”
“Delia... aku kangen banget sama kamu. Sudah lima tahun kita tak bertemu,
dan akhirnya kita bisa bertemu kembali.” ucap Dimas bahagia sebelum melihat
Ryan yang berdiri diam di belakang mereka.
“Kamu??? Kamu Ryan?”
“Selamat sore mas. Ya saya Ryan, calon suami Delia.” Tandas Ryan.
“Apa? Calon suami? Kalian akan menikah? Ah.. nggak-nggak.. Kalian pasti
bohong. Del, tolong kamu jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Dimas
penasaran.
“Iya Dimas. Kami berdua sudah bertunangan dan akan menikah pada bulan
November mendatang.” Delia menjelaskan.
“Kamu memang perempuan jalang Delia. Kamu sudah tak punya hati. Selama ini,
aku menanti dan mencintaimu dari negeri seberang dengan harapan bahwa kita akan
bersatu, ternyata disini kamu malah membohongiku!!” ucap Dimas kasar seraya
pergi tanpa memberi kesempatan Delia untuk berbicara. Dengan nafas yang semakin
terisak, Delia melepas kepergian Dimas dengan beribu pertanyaan di kepalanya
hingga ia jatuh pingsan di tangan Ryan.
“Delia... Del.. sadar Del..” Ryan membangunkan Delia yang sudah sejam
lamanya pingsan.
“Aku...”
“Kamu di rumah sakit. Kami kebingungan karena kamu tak cepat sadar, makanya
kamu kami bawa ke rumah sakit biar bisa ditangani sama dokter yang sudah ahli
di bidang medis.” Ryan menjelaskan. Delia hanya mengangguk kecil. Pandangannya
menyebar ke sekeliling, dan ia melihat mama dan papanya menemaninya di samping
yang berlawanan dengan Ryan. Delia menghembuskan napas lega. Namun, dokter
belum mengijinkannya pulang dan menyuruhnya beristirahat di rumah sakit selama
2 hari. Kata dokter, Delia mengalami kelelahan yang cukup parah karena selama
beberapa hari kurang istirahat meski sebenarnya Delia sudah merasakan perubahan
fisik pada tubuhnya. Berat badan Delia mulai menurun sejak beberapa bulan yang
lalu namun ia tak pernah menghiraukannya karena kesibukannya mengerjakan
skripsi dan rencana pernikahannya.
Dua hari kemudian dokter memanggil kedua orang tua Delia secara pribadi di
ruangan khusus. Delia tak mengerti, begitu pula Ryan masih menganggap tak
terjadi apa-apa. Setelah itu, kedua orang tua Delia masuk kembali ke ruang inap
Delia sembari mengelus-elus kepala anaknya itu.
“Ma.. Tadi dokter ngomong apa?” tanya Delia.
“Tidak apa-apa sayang. Kamu tenang saja.” Ucap mamanya menenangkan.
“Tolong ma, katakan. Delia ingin tau.”
“iya, ma. Katakan saja.” Ryan meyakinkan.
“Nak. Sebelum mama menjawab pertanyaanmu, bolehkah mama terlebih dahulu
menanyakan sesuatu padamu?”
“Ya ma. Tanyakan saja.”
“Baiklah. Sebelumnya, mama minta maaf padamu nak, dan pada Ryan juga.
Tolong maafkan tante ya Ryan.” Ucap mama sambil menatap ke arah Ryan.
“Dulu, pada saat kamu berpacaran dengan Dimas, apakah kamu pernah
berhubungan badan dengannya Del?” tanya mama.
Sontak pertanyaan mama Delia mengagetkan Ryan. Ryan masih tak habis pikir
jika mama Delia akan menanyakan pertanyaan seperti itu kepada anaknya. Delia
pun langsung menyadari kesalahannya. Air matanya perlahan menetes di pipinya
yang mulai tirus. Tak lama kemudian, air mata itu membanjiri kedua pipinya yang
memucat dan tak henti-henti meminta maaf pada mama dan papanya. Ryan masih tak
mengerti dengan adegan yang terjadi di depan matanya sendiri. Dengan perasaan
yang bercampur antara marah dan sedih, Ryan berusaha menenangkan dirinya dan
Delia dengan berkata, “Delia... kau tak usah sedih. Aku akan berusaha
menerimamu apa adanya meski kau sudah tak suci lagi. Mungkin ini memang berat
bagiku, namun, aku akan tetap menikahimu meski sebenarnya dirimu sudah menjadi
milik orang lain sebelum aku meminangmu.” Jelas Ryan dengan wajah terisak.
“Ryan, kau masih tak mengerti nak. Maafkan tante Ryan...” tangis mama Delia
semakin menderu. Sedang Ryan sudah tak bisa menahan diri untuk keluar dari
ruangan itu. Dia belum mampu menerima kenyataan pahit yang baru saja dia
dengar. Tak lama, mama Delia keluar menemui Ryan yang duduk di taman samping
kamar Delia. Dengan wajah berlinang, mama Delia berkata, “Nak. Bukan karena
Delia sudah tak suci lagi yang kami tangisi. Tapi karena Delia....”
“Kenapa tante?? Kenapa tante berhenti?” Ryan menatap dalam mata mama Delia.
“Kami... menangis... karena... Delia terserang penyakit AIDS nak. Makanya
mama bertanya apakah Delia pernah melakukan hubungan badan dengan Dimas sewatu
mereka pacaran dulu... Dan waktu Delia bersama kita sudah semakin dekat nak.
Kita tak punya banyak waktu.” terang mama Delia. Kata-kata mama Delia menghujam
perasaan Ryan. Bertahun-tahun lamanya ia menunggu saat yang tepat untuk
menikahi Delia, dan ketika saat itu telah tiba, semua harapan itu memudar
sedikit demi sedikit. Belum sembuh sakit hatinya atas perlakuan Dimas pada
Delia, kini ia disakiti dengan keadaan Delia yang sebentar lagi akan pergi
selamanya. Menyadari hal itu, Ryan pun bangkit dan berlari masuk ke ruang Delia.
Ia melihat wajah calon istrinya yang tersenyum kaku menatap kedatangannya di
depan pintu. Dengan tangan terinfus, Delia mengangkat tangannya hendak
menyambut tangan Ryan dan Ryan pun membalasnya sembari berkata, “Delia
sayang... jangan bersedih. Kau tetaplah Delia yang ku temui di acara reuni
kedua mama kita. Kau tetaplah Delia yang ku lihat dengan senyum manis
membagi-bagikan sedekah pada pengemis jalanan. Apapun yang terjadi di masa
lalu, aku akan tetap mencintaimu dengan setulus hati.” Isak Ryan mengguncang
dada Delia. Ia tak mampu membendung air matanya melihat ketulusan Ryan menerima
segala kekurangan dan kesalahannya di masa lalu. Benar kata mamanya, Ryan
memang laki-laki yang baik. Kesalahannya pada mamanya sungguh besar karena tak
pernah mau mendengarkan ucapan mamanya. Ia sangat menyesal karena sejak dulu
tak pernah menuruti kemauan mamanya, dan mau menerima Ryan sebagai tunangannya.
Namun, semuanya telah terjadi. Delia tak bisa mengulang waktu dan memperbaiki
semuanya. Kesalahan yang ia perbuat terlanjur berbuah pahit dan sekarang ia
memetik buah dari kesalahannya. Ia tak akan pernah lagi membahagiakan kedua
orang tuanya dan hidup bersama Ryan.
Di sela-sela tangis mereka, Delia berkata, “Ryan, aku ingin kau memenuhi
keinginan terakhirku..”
Dengan dada yang sesak, Ryan menjawab, “Katakan Delia, aku akan
memenuhinya.”
“Aku ingin, cinta kita abadi meski jasadku sudah tak bersamamu lagi.”
Sambil mengusap air matanya, Ryan berkata sambil terisak,
“Lalu bagaimana caranya?”
“Aku ingin kamu menikahiku saat ini juga Ryan. Sehingga cinta kita akan abadi
meski 1000 tahun lamanya.” Jawab Delia.
Dengan wajah yang tak sanggup menahan tumpahan air mata yang membanjir,
Ryan mengangguk keras. Lalu diambilnya cincin pernikahannya yang sengaja mereka
berdua persiapkan jauh-jauh hari sebelum Delia jatuh sakit. Ryan berkata,
“Delia... ini cincin pernikahan kita. Seperti yang kamu inginkan, cincin
ini terbuat dari intan putih kesukaanmu. Cincin ini baru saja aku ambil tadi
pagi dan memang ingin aku tunjukkan padamu hari ini. Maka, hari ini aku akan
menikahimu dengan mahar cincin ini. Papa, tolong panggilkan penghulu secepat
mungkin untuk menikahkan kami. Delia tak punya banyak waktu lagi. Papa Delia
bergegas keluar menjemput penghulu.
Selang beberapa jam, papa Delia tiba di rumah sakit beserta penghulu yang
akan menikahkan Ryan dengan Delia. Setibanya di kamar Delia, Delia sudah siap
dengan dandanan seadanya dan Ryan sudah bersiap diri menunggu kedatangan
penghulu.
“Bismillahirrahmanirrahim... saya nikahkan dan kawinkan engkau, Ryan bin
Ahmad Shalih dengan Delia binti Muzakkir dengan mas kawin cincin seberat....”
“Saya terima nikah dan kawinnya, Delia binti Muzakkir dengan mas kawin yang
telah tersebut...”
“Sah.....” teriakan para suster dan dokter Delia sebagai saksi melengkapi
kebahagiaan mereka berdua di hari itu. Sejenak, mereka lupa dengan kesedihan
yang baru saja mereka alami. Tetap dengan air mata berlinang, Ryan berkata pada
Delia,
“Istriku, aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu suamiku,” ucap Delia.
“Sekarang cinta kita akan abadi selama 1000 tahun lamanya. Tak mengenal
batas waktu dan tempat, karena aku akan tetap mencintaimu selama itu pula
sayang. Kau tak perlu khawatir karena aku akan tetap memelihara cinta kita
sampai kita dipertemukan lagi oleh Allah di tempat yang tepat.” Ucap Delia yang
perlahan mulai menutup mata. Akhirnya, Ryan mengecup kening istrinya yang telah
berpulang terlebih dulu darinya. Ia tatap lama wajah istrinya yang membiru lalu
membiarkan para suster menutupkan kain putih di atas wajah istrinya.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar