/1/
Aku tak tau apa itu
Hanya sebuah
pemberontakan tak tersampaikan
Lebih tepatnya
gejolak yang semakin bertambah-tambah
Aku lahir dari rahim
pulau garam
Pulau asin dengan
olak alik budaya di dalamnya
Gadis belia bunga
desa
Putri semata wayang
Dari bangsa punggawa
Nurul yang sering
berceloteh dengan langit senja
Di tepi laut
pinggiran Madura
Bersajak dengan
himpitan ombak berbuih
Di pasir putih
/2/
Merenung, dan melamun
Memikirkan si Hanafi
Yang terus berkelana
mengarungi belantara
Perasaan itu tak
kunjung pergi
Si Hanafi, si Hanafi
Hanafi, dan Hanafi
Sajak kerinduannya
pada Tuhan
Membuat Nurul
terkapar
Antara dirinya dan
Tuhannya
Dia mengajarkannya
sebuah romantika
antara Tuhan dengan
hamba-Nya
Mengajarkan ketulusan
Memilih Allahnya
dalam hidupnya
Menentukan Islam agamanya
Serta menentukan
untuk taat pada ajarannya
DIA yang ku sebut
dalam shalat,
Menampakkanmu dalam
bayangan
Menjelaskan siapa
dirimu dalam diriku
Kau lahir dari
jeratan kemiskinan
Terlantar dan melarat
Namun bukan itu yang
ku pikirkan
Cintamu Hanafi,
cintamu
Kecintaanmu pada ilmu
dan Tuhan
Kau bebas,
Melanglang memenuhi
nafsumu
Menelan banyak ilmu
dan kearifan
Bukan aku yang
mendekam dalam istana emas
/3/
Pagi di halaman
masjid dekat rumah
Ku lihat seorang laki-laki
sedang memejamkan mata
Merentangkan kedua
tangannya
Meresapi aroma pagi
melalui hidungnya
Aku tak tau apa yang
sedang dilakukannya
Ku tanya, kau sedang
apa?
Menikmati aroma
kehidupan yang Tuhan berikan, jawabmu
Ku Tanya, apa itu?
Kau jawab,
Desahan napas,
aliran darah, pikiran jernih,
Dan yang
terpenting adalah…
Kesempatan yang
diberikan padaku
Untuk memeluk
agama islam
Kata-katamu sungguh
menyentuh
Berbeda dengan ustadz-ustadz
yang selalu berorasi
Sesuka hati mereka
Aku terpaku
melihatmu,
Sedang kau asyik
masyuk dengan dirimu
Aku pun pergi
memasuki rumah
Dengan terus menatap
ke arahmu
Hari berganti hari,
Aku pun tak melihatmu
lagi sejak pertemuan itu
Lalu…
“Pergi kau dari
sini anak muda! Dasar tak tahu sopan santun!!!”
Ku dengar suara ayah
menghardik seorang laki-laki
Laki-laki itu pun
pergi dengan wajah tertunduk
Ketika ku hampiri
ayah,
Dengan amarah ayah
berkata,
“Dasar santri
kurang ajar. Tidak tahu dia kalau ini dhalem kyai”
(sebuah sebutan
khusus untuk kediaman seorang kyai)
/4/
Pagi hari aku
berjalan-jalan di pelataran pesantren
Ku coba berjalan di
sekitar kediaman pamanku
Dan ku lihat lelaki
itu lagi
Dengan baju compang
camping,
Wajah kusut dan
berdebu
Ku dekati dia,
Dan ternyata dia tak
menghindar
Dia berkalung
tembakau dan korek api
Aneh dan janggal
Lalu di berkata,
“Banyak orang tak
melupakan rokok mereka sejenak
Saat mereka menghadap
Tuhan-Nya”
Seolah-olah dia mengerti
apa yang terbesit dalam benakku
Lalu dia pergi
Dan aku hanya diam
terpaku
Ku Tanya orang-orang,
Mereka menjawab,
Kau manusia sesat dan
gila
Mencari makan dari
setumpuk sampah
Kaleng dan botol
bekas
Dengan sejumput
pakaian lusuh yang usang
Aneh dan gila
Banyak orang yang
menjauhimu
Banyak pula yang
membencimu
Lantaran sikapmu yang
terlalu bebas pada Tuhan dan manusia
Tapi entah kenapa aku
tak melihatmu dari hal itu
Kau memiliki sesuatu
yang tak banyak orang memiliknya
Kau mempunyai sesuatu
yang aku pun sedang mencarinya
Pikiran itu terus
membayangi otakku
Mengganggu
aktivitasku
Dan wajah lelaki itu
tak lepas dari ingatanku
/5/
Lama aku tak
melihatnya lagi di sekitar pesantren
Dia seperti hilang di
kedalaman laut biru
Samping rumahku, desa
Talango
Aku pun merasa resah,
Terasa ada yang
hilang dari diriku
Aku hanya berjalan
mondar-mandir di depan rumah
Bingung akan berbuat
apa
Aku tak bisa diam
saja,
Aku harus melakukan
sesuatu, pikirku
Aku berjalan menuju
rumah paman Husni
Disana ku temui
seorang santriwati yang sedang menyapu halaman
“assalamu alaikum
neng,” sapaan untuk seorang putri kyai besar di Madura[1]
“waalaikmus
salam,” jawabku
Ku tanya ini dan itu
tentangmu pada perempuan itu
Katanya, kau memang
lelaki aneh dan gila
Kau selalu berpakaian
lusuh dan usang
Kau selalu mengembara
mencari ilmu dan Tuhan
Dan kau selalu
menentang segala tatanan sosial masyarakat desa
Terakhir,
Kau adalah santri
pamanku, bernama Mohammad Hanafi
Ah… laki-laki itu
tetap mengganjal dalam pikiranku
Aku penasaran dan
ingin tahu
/6/
Akhirnya, aku dapat
bertemu dengannya lagi
Tak sengaja saat ku
mengantar kiriman dari abah
Di samping rumah
paman,
Kau bercengkrama
dengan alam
Aku terpaku
Aku terdiam
Hatiku luluh
Tubuhku kaku
Melihat laki-laki itu
bersajak dengan alam
Suaraku kelu
Mulutku tergagap
Saat kau bertanya hendak
kemana
Apakah kau tak tahu
bahwa aku ini putri kyai Ahmad?
Kau seperti acuh dan
tak peduli
Kau bertingkah
seenaknya di depanku
Kau tak beretika saat
bertemu denganku
Aku merasa kau
makhluk yang aneh dan kerdil
Tiba-tiba paman
keluar menyapa
Menghampiri kami
berdua
Mengenalkanku padanya
Dan dia padaku
Aku mengikuti pamanku
ke dhalem[2]
Dia menceritakanku
tentang laki-laki bernama Hanafi itu
Aku disuruh
menemuinya untuk bertanya banyak hal
Dan percakapan pagi itu pun usai ketika jam
menunjukkan pukul 8.00
/7/
Kini aku punya
kebiasaan baru
Bertemu dan berbincang
banyak hal dengan Hanafi
Katanya, manusia tak
perlu mengharapkan surga dan neraka
Jika hanya untuk
mengharap balasan surga dan neraka,
Manusia tak perlu
ber-Tuhan
Dia hanya ingin
mereguk kenikmatan mencintai Tuhan Allah dalam hidupnya
Ah… aku menyukainya
Tiap hari aku
menemuinya di samping rumah paman
Hingga suatu hari…
“Nurul!!!
Suara laki-laki
membentak dan menghardikku
Abah memergoki kami
dari belakang
Aku ketakutan
Abah terlihat geram
melihat kami berdua
Padahal kami tak
berbuat apa-apa
Bahkan jarak kami
terlampau jauh
5 meter!
Ah… aku tak mengerti
Abah menarikku dengan
paksa
Meninggalkan Hanafi
yang terlihat lugu dan tak mengerti
/8/
Aku terhempas di atas
kasur kesayanganku
Hatiku sakit,
Perih…
Kata-kata abah kasar,
menakutkan
Seolah-olah aku bukan
anaknya
Aku tak berbuat
apa-apa
Aku tak bersalah
Tapi mengapa abah
semarah itu?
Aku hanya ingin
belajar banyak hal pada lelaki ajaib itu
Bukan berbuat hal
yang tak pantas
Hardikan, celaan dan
makian abah lontarkan padaku
Terutama pada Hanafi
Aku yang tak tahu
malu
Tak punya harga diri
Tak beretika
Dan bla… bla… bla…
Entah apa lagi yang
ku ingat
Kepalaku terlalu
pusing mengingat cacian itu
Abah menghina Hanafi
dengan sebutan lelaki kotor dan miskin
Karena dia berasal
dari keluarga kasta rendahan
Bukan seperti kami
yang keturunan darah biru
Ummi hanya menangis
dan berusaha menghalangi abah yang terus-terusan memukuliku
Tapi abah tetap tak
menghiraukannya
Aku berusaha
menjelaskan yang sebenarnya pada abah
Tapi tak berhasil
Suaraku kalah jauh
dari hentakan suara abah
Abah tak
mendengarkanku
Abah tak mau
mendengarkanku
Kejadian siang itu
bagai petaka dalam rumah kami
Aku tak pernah
melihat abah semarah dan sekasar itu
Aku ketakutan
Tamparan mendarat
tepat di pipi
Saat aku bertanya
Kenapa harus menjaga jarak
dengan orang lain yang tidak sederajat dengan kami?
Abah meninggalkanku
begitu saja
Karena sudah tak
tahan padaku
“Ajari anakmu dengan
baik”
Begitu kata terakhir
abah kepada ummi
Hingga aku pun
berlari menghambur ke dalam kamar
Tak ku hiraukan
panggilan ummi dari balik pintu kamar
Hatiku sangat sesak
Hidup seperti ini
sangat menyiksaku
Terkungkung dan
terpenjara
Kelihatannya saja aku
hidup bahagia
Hidup dilayani banyak
santri bak seorang putri raja
Minta ini dan itu
Perintah ini dan itu
Dan tak perlu bekerja
keras untuk menghasilkan uang
Karena sumbangan dari
tiap-tiap orang yang datang ke rumah kami
Sangat cukup bahkan
lebih untuk mengisi perut kami
Hidup dalam kebenaran
yang palsu
Baik salah atau
benar, jika yang berkata adalah seorang kyai,
Maka Sami’na Wa
Atha’na[3]
Tanpa dipikir apakah
itu benar ataukah salah
/9/
Sudah dua jam aku
mendekam dalam kamar
Ku biarkan angin dari
luar jendela menyapa tubuhku
Semerbak gerimis
sedikit demi sedikit membasahi kulitku
Langit mulai mendung
Seakan ikut merasakan
getir hatiku
Panggilan dari
pengasuhku[4]
tak jua ku dengarkan
Pikiranku terlalu
disibukkan dengan bayangan Hanafi
Kira-kira apa yang
sedang dilakukannya?
Marahkah dia?
Aku tak mau dia
merasa malu dan terhina dengan sikap abah siang tadi
Aku tak mau dia menjauh
karena takut pada abah
Pikiran-pikiran aneh
terus saja menghantuiku
Semoga saja tak
terjadi apa-apa, harapku
/10/
Pagi hari, aku tetap menemui
Hanafi
Tapi baru saja
beranjak dari depan rumah,
Seorang santri
perempuan mungil menghampiriku
Katanya dia diperintahkan abah untuk selalu
menemaniku kemana pun aku pergi
Ah… apa lagi ini?
Abah seperti anak
kecil saja, gerutuku dalam hati
Aku ikuti kemauan
abah
Mau apa lagi?
Sebagai putri kyai
aku harus menaati aturan dan strata sosial yang ku sandang
Gadis itu pun
mengikutiku dari belakang
Aku berusaha
mengalihkan perhatiannya padaku
Ku suruh dia pergi
mencari bukuku di kamar
Saat ku lihat sosok
Hanafi tengah berdiri
Ketika telah berada
didekatnya,
Dia tak berkata
apa-apa
Dia malah memberiku
selembar kertas ber-amplop
Kuno, begitu kesan
pertamaku melihatnya
Di zaman multimedia
ini, masih ada orang yang menyampaikan pesan lewat surat
Ku lipat surat itu ke
dalam saku baju
Dia pun pergi
/11/
……
Aku menemukan
kedamaian dalam matamu
Dan aku ingin
meneguknya seteguk demi seteguk
Bantu aku untuk
membawa rasa ini
Sajak terakhir yang
ku baca dari surat Hanafi
Mengguncangkan
naluriku
Perasaan yang sering
berkecamuk dalam hati
Ternyata dia rasakan
pula
Lalu apa yang harus
ku lakukan?
Menuruti perasaan ini
atau menepisnya?
Terlihat wajah abah
yang memelas saat membelai kepalaku di senja hari
Abah meminta maaf
atas sikapnya yang berlebihan tempo hari
Dia sayang dan
teramat cinta padaku sehingga bersikap seperti itu
Abah mengingatkanku
akan status sosial yang kami sandang
Keluarga besar
kyai harus bisa menjaga sikap dan tingkah laku mereka
Terlebih untuk
persoalan cinta
Cinta harus tunduk
pada aturan
Cinta hanya
dongeng pembawa tidur belaka
Yang ada hanyalah
pernikahan
Cinta tak punya
kuasa apa-apa terhadap hidup seseorang
Bahkan cinta harus
tunduk pada hidup
Aku menangis dalam
hati
Memejamkan mata
sekedar meredam gemuruh yang bergejolak
Perlahan air mataku
mengalir
Tanpa terasa…
/12/
Suatu pagi aku
mencoba menemui Hanafi lagi
Ingin sekali ku katakan
bahwa aku pun juga mencintainya
Tapi keadaan yang tak
mengijinkan
Ingin ku katakan
bahwa aku juga memikirkannya
Rindu yang sesak memintaku
untuk datang menemuinya
Tapi apa yang ku
dapati?
Abah menampar Hanafi
tepat di depan mataku
Seketika aku memohon
pada abah untuk berhenti
Tapi abah tetap
bersikukuh
Abah menghinanya lagi
Lagi,
Dan lagi
Hanafi hanya
tertunduk dan tersenyum
Laki-laki itu, apa
yang dia mengerti
Kau terlalu lugu
Hanafi
Ah… abah tahu tentang
hubungan kami
Bahkan sebelum kami
menyadarinya
“Aku mencintainya
abah,”
Tak sengaja terlontar
pengakuan itu
Abah semakin murka
Si miskin ini?
Si kotor ini?
Si kerdil ini?
Hatiku merintih
mendengar kata-kata itu
Tolong jangan
salahkan perasaaan kami,
Jangan salahkan kami,
rintihku
Apa yang kau lihat
dari lelaki ini Nurul? Bentak abah
Aku tak melihat
apa-apa selain Tuhan dalam hatinya
Aku hanya
mencintainya
Aku tak mampu
mengatakan itu semua
Abah menyeretnya ke
hadapan santri yang bergumul di depan musalla
Aku tak kuat
melihatnya
Aku berlari ke dalam
kamar
Ku lihat dari balik jendela
Hanafi di tendang dan
dipukuli
Aku menangis
Hingga ku lihat dia
diusir dari pesantren
Aku tersakit-sakit
melihat tragedi itu
Dengan dalih mencuri,
Hanafi layak dikeluarkan dari pesantren
Skenario apa yang
sedang abah lakoni
Aku hanya meratapi kepergiannya
yang terus menghilang di ujung jalan
/13/
Usai menghajar Hanafi
habis-habisan,
Abah menemuiku di
kamar dan berkata,
“Kau akan abah
jodohkan. Dia anak kyai seperti kita”
Ucapan abah
menghancurkan perasaanku
Baru saja aku
kehilangan orang ku cintai,
Kini aku harus
menelan kenyataan lain
Untuk apa abah
mengagung-agungkan kehormatan?
Untuk apa abah
mengagung-agungkan martabat?
Jika tak bisa menjaga
kehormatan orang lain
Ku kejar abah keluar
kamar dan berteriak,
“Aku hanya mencintai
Hanafi, dan tak akan menikah dengan selain Hanafi!
Mata abah memerah
mendengar ucapanku
Kau mencintai lelaki
itu?
Apa yang kau lihat
darinya?
Apa yang akan kau
dapatkan dari lelaki macam dia?
Kau akan melarat
Hidupnya saja susah,
apa lagi menanggung hidupmu pula
Kita keluarga
terhormat, bermartabat, terpandang di masyarakat
Mana mungkin kau akan
menikah dengannya?
Apa kata orang?
Kau hanya akan
menjadi sampah masyarakat yang tak diperhitungkan
Kau bodoh Nurul
Kau bodoh!
Kecuali jika kau
menikah dengan orang yang sederajat dengan kita,
Kau akan sentosa
Tak usah kau pikirkan
lelaki itu
Aku tak menyangka
abah akan berkata seperti itu
Terbayang di mataku
betapa sakitnya Hanafi diperlakukan seperti itu
Betapa malunya
dirinya dihina dan dipermalukan di depan banyak orang
Hanafi…
Dimanakah kau
sekarang?
/14/
“Assalamu alaikum”
Paman Husni
mengunjungi kami
Ku lihat rautnya
seperti memendam amarah
Abah
mempersilahkannya duduk
Ku hidangkan teh,
Lalu paman bertanya,
“Apa yang telah kau
lakukan pada muridku?”
Dengan acuh, abah
bersikap seolah-olah tidak tahu
“Apa yang telah kau
lakukan pada muridku Hanafi?”
Paman mengulang
pertanyaannya
Abah berkata bahwa
dia telah mengganggu diriku
Dia berlaku tak
pantas padaku
Padahal itu semua
omong kosong
Paman tak percaya ucapan
abah
Tak mungkin Hanafi
berani melakukan itu
Paman pun membantah
ucapan abah
Abah marah dan
mengusir paman
Mereka berselisih
hingga terjadi pertengkaran
Lalu paman pergi
meninggalkan abah
Batinku meringis
Apa lagi yang akan
terjadi?
Ku peluk ummi yang
sedang duduk termenung di halaman belakang
Sabar nak, sabar…
Hanya itu yang
terucap dari bibirnya
Dia tahu bagaimana
perasaanku
Tapi itu tak mungkin
mengubah keputusan abah
Ummi…
Ku peluk erat ummi
Aku lelah ummi,
lirihku dalam dekapan
Hingga tiba hari
pertunanganku,
Aku tetap tak keluar
dari kamar
Aku masih merindukan
Hanafi
Sosok yang
menenangkanku dengan Allah-nya
Pikiranku melayang ke
negeri antah berantah
Entah kemana
Mengembara seperti
Hanafi yang sedang mengelana
Kata paman, dia
baik-baik saja
Dia masih mencintaiku
Tak sedikit pun
Hanafi memendam dendam
Ah… lelaki itu memang
ajaib
Dan itu yang
membuatku tergila-gila padanya
/15/
Pada hari yang sama
pula,
Abah telah menetapkan
hari pernikahanku
Lelaki yang bernama
Mahmud akan melaksanakan ijab qabul
Aku tak mengenalnya
Bahkan baru
melihatnya kali ini
Apa yang akan ku
lakukan?
Aku tak tahu
Peristiwa demi
peristiwa telah menguras banyak tenagaku
Hingga hari
pernikahan pun,
Tak ada semburat
senyum yang merekah di bibirku
Wajahku pucat,
seperti mayat hidup
Beberapa hari aku
tidak makan
Bahkan untuk minum
pun aku enggan
Pusing dan sesak
napas tak mampu menandingi letihnya hatiku
Aku juga tak tahu apa
yang akan terjadi setelah ini
Ya Allah,
Hanya kepada-Mu
kami menyembah,
Dan hanya
kepada-Mulah kami meminta pertolongan[5]
/17/
Senja yang kuning
kini memerah
Tanda sore telah
berganti petang
Aku beranjak dari
lamunanku dari tepi pantai
Pantai dengan pasir
putih
Tempat dimana aku
merindukan masa laluku bersama Hanafi
Pantai yang
meneduhkan siapa saja yang mengunjunginya
Bahkan untuk
pesakitan sepertiku yang telah ditinggalkan suami tak bertanggung jawab
Rasa ini tetap sama,
Walau kenyataannya
berbeda
5 tahun setelah
kepergianmu,
Aku tetaplah Nurul
yang kau kenal
Aku menanggung beban
ini sendiri
Tanpa henti berharap
Kau akan datang
kembali
Di ujung jalan saat
kau pergi
SEKIAN
[1] ‘Neng’
adalah panggilan khusus untuk putri kyai dan bu nyai yang masih muda di
pulau Madura
[2] Sebutan
khusus untuk kediaman atau rumah kyai dan bu nyai di Madura.
[3] Artinya kami mendengarkan
dan kami taat. Semboyan santri kepada kyainya yang
menggambarkan bahwa mereka patuh pada perintah sang kyai.
[4] Setiap
putra dan putri kyai di Madura selalu mempunyai seorang pengasuh perempuan yang
telah lama nyantri di pesantrennya.
[5] Alquran,
surah al-Fatihah ayat 5