Alfred Ayer mengatakan bahwa, “Filsafat adalah pencarian akan jawaban
atas sejumlah pertanyaan yang sudah ada semenjak zaman Yunani dalam hal-hal
pokok yang tetap sama.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana
kita dapat mengetahuinya; hal-hal apa yang ada dan bagaimana hubungannya satu
sama lain. Selanjutnya mempermasalahkan pendapat-pendapat yang telah diterima,
mencari ukuran-ukuran dan menguji nilainya; apakah asumsi-asumsi dari pemikiran
ini dan selanjutnya memeriksa apakah hal-hal itu berlaku.”[1]
Sebagaimana pernyataan Alfred Ayer di atas, maka
dapat diketahui bahwa filsafat merupakan pencarian atau mempelajari segala
sesuatu yang ada dengan sungguh-sungguh dan mendalam mengenai hakikat atau
nilai yang terkandung di dalamnya. Pencarian ini bukan sekedar pencarian
yang bersifat fisik yang mengandalkan materi atau data lapangan saja, tetapi
pencarian ini lebih kepada petualangan alam pikiran manusia untuk menemukan
suatu prinsip dasar yang pokok mengenai segala sesuatu yang ada di alam
semesta. Pencarian tersebut hanya dapat dilakukan melalui aktivitas berpikir
secara mendalam. Subjek dari aktivitas berpikir ini, adalah manusia. Manusia yang berfilsafat
dapat disebut sebagai filsuf. Namun, tidak semua manusia yang berpikir dapat dikatakan berfilsafat. Allah
Swt berfirman:
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ
لأولِي الألْبَابِ (١٩٠)
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.[2]
وَمِنْ آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا
وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الأرْضَ بَعْدَ
مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٢٤)
Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk
(menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu
menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan
akalnya.[1]
وَفِي الأرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ
وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ
يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الأكُلِ إِنَّ
فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٤)
Dan di bumi
ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur,
tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang,
disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu
atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.[2]
Ayat di
atas menjelaskan bahwasanya Allah Swt memerintahkan manusia untuk menggunakan
akalnya untuk berpikir tentang kejadian-kejadian alam yang terjadi di sekitar
manusia. Kejadian yang terjadi di alam semesta merupakan suatu hal yang ajaib
dan aneh. Maka, manusia selaku makhluk yang memiliki akal pikiran tentu tak
akan tinggal diam dengan hal tersebut. Aktivitas berpikir yang dijelaskan dalam
ayat di atas merupakan aktivitas berpikir mendalam yang sering disebut sebagai
berfilsafat. Bukan sekedar berpikir mengenai bagaimana proses terjadinya alam
atau perubahannya saja. Berpikir dalam hal ini
(kejadian alam semesta) berkaitan erat dengan aspek Ontologi (hakikat), Epistemologi
(prosedur), dan Aksiologi (fungsi) dalam ilmu filsafat. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, maka diperlukan beberapa metode berpikir secara filsafat, yang diantaranya
ialah radikal (mencapai dasar atau akar-akarnya), rasional (logis), komprehesif
(keseluruhan), bebas, sistematis (teratur), dan spekulatif (dugaan-dugaan awal
yang logis).
Dalam sejarah filsafat, banyak tokoh Yunani yang
melakukan pelbagai kegiatan filsafat terhadap hal-hal yang mereka temui dan
mereka hadapi. Pada masa kuno, ada Thales yang berasumsi bahwa segala sesuatu
berasal dari air. Anaximandros yang beranggapan bahwa segala yang ada berasal
dari yang tak terhingga. Kemudian Anaximenes yang menyatakan bahwa udaralah
induk dari segala sesuatu. Proses berpikir ini merupakan aktivitas berpikir
alami, yaitu aktivitas berpikir yang bermula dari keingintahuan terhadap asal
mula alam semesta. Pola pemikiran (filsafat alam) tersebut kemudian berkembang hingga
masa klasik, abad pertengahan, (zaman patristik dan skolastik) dan masa modern.
Dari sejarah tersebut, dapat diketahui bahwa manusia merupakan makhluk yang
berakal dan senantiasa berpikir. Pola pemikiran manusia akan terus berlanjut
dan berkembang. Aktivitas berpikir yang berkembang pada masa Filsafat Alam ini
sebenarnya telah tertuang dalam Alquran Surat Yunus ayat 101 yang berbunyi:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا تُغْنِي الآيَاتُ
وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لا يُؤْمِنُونَ (١٠١)
Katakanlah: "Perhatikanlah apa
yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan
Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".
Pada abad pertengahan atau masa berkembangnya teori
filsafat teosentris, pemikiran manusia telah sampai pada persoalan mengenai
ketuhanan. Zaman ini terbagi atas zaman patristik (Patristik Yunani dan
Patristik Barat) dan zaman skolastik. Di negara barat, filsafat berkembang di
bawah naungan dogma-dogma agama kristen (Patristik Barat). Filsafat yang
berkembang merupakan bentuk implementasi agama ke dalam pemikiran filsafat.
Artinya, hanya kebenaran tuhanlah yang sejati dibandingkan kemampuan akal
manusia. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran filsafat yang berkembang di
Yunani kuno (Patristik Yunani). Pandangan filsafat Yunani kuno berkeyakinan
bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui kemampuan akal atau berpikir manusia.
Pertentangan antara pola pemikiran patristik Yunani dan
patristik Barat di atas sebenarnya dapat dihubungkan dan dikorelasikan.
Pandangan antara Yunani dengan Barat bukan merupakan suatu kontradiksi. Artinya,
filsafat dan agama saling berkaitan satu sama lain. Wahyu Tuhan dapat
meluruskan pemikiran filsafat yang spekulatif terhadap kebenaran agama. Lalu di
sisi lain, filsafat dapat memperkuat keyakinan manusia terhadap kebenaran
mutlak agama yang tertuang dalam wahyu Tuhan secara kritis dan logis. Pada
dasarnya, filsafat yang sejati akan kembali pada kebenaran agama. Bukan mematahkan
doktrin agama yang terdapat dalam teks wahyu Tuhan. Karena tidak semua
persoalan yang dihadapi oleh manusia dapat diselesaikan oleh filsafat. Beberapa
persoalan yang bersifat asasi tentang alam, manusia, maupun Tuhan pun terkadang
hanya bisa dijawab oleh agama. Akan tetapi, hal tersebut tidak menutup atau
menghalangi manusia untuk terus berpikir dan mencari pengetahuan tentang alam
semesta.
Teori-teori tentang penciptaan alam semesta dan segala
kejadiannya yang semakin berkembang hingga saat ini sebenarnya telah dijelaskan
terlebih dahulu dalam Alquran. Sebelumnya, para filsuf materialisme mengatakan
bahwa alam semesta merupakan benda material yang telah ada sejak dahulu
sebagaimana bentuk yang telah ada sekarang serta tidak ada penggerak atau sebab
pertama yang menyebabkan benda itu ada. Kelompok ini tidak mengakui adanya
wujud immaterial (nonmateri) seperti roh, hantu, malaikat, bahkan Tuhan. Segala
yang bergerak dan berubah di alam semesta merupakan gejala material biasa yang
akan kembali lagi pada dasar material. Akan tetapi, ilmu pengetahuan khususnya
di bidang sains mematahkan teori materialisme.
Stephen Hawking,
penemu teori Bing Bang (ledakan besar) telah mampu mematahkan teori materialisme
tersebut. Teori Bing Bang dalam kosmologi adalah salah satu teori ilmu
pengetahuan yang menjelaskan tentang perkembangan dan bentuk awal dari alam
semesta. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini berasal dari kondisi yang
sangat padat dan panas, kemudian mengembang terus menerus hingga kini sejak
sekitar 13,7 miliar tahun yang lalu. Lalu, dari ledakan tersebut terbentuklah planet-planet,
bintang-bintang, dan lain sebagainya seperti yang ada dalam sistem tata surya
saat ini. Pada tahun 1929 astronom Amerika Serikat, Edwin Hubble melakukan
observasi dan melihat bahwasanya galaksi yang jauh selalu bergerak menjauhi kita.
Artinya, jika gerakan menjauh tersebut dikerucutkan kembali ke awal, maka dapat
diperkirakan bahwa alam semesta bermula dari pengembangan sebagaimana teori
ledakan besar Stephen Hawking. Pada saat itu, alam semesta bermula dari satu
titik dengan ukuran nyaris nol dan berada pada kerapatan dan panas yang tak
terhingga. Hal ini menunjukkan bahwa, dahulu ruang angkasa, galaksi, planet,
matahari, bumi dan segala benda yang ada di alam semesta adalah satu. Kemudian terpisah
karena adanya ledakan besar sehingga terbentuk bumi dan tata surya yang ada
saat ini. Maka dari itu, tak dapat dipungkiri bahwasanya alam semesta ini sebenarnya
ada yang menciptakan dan menggerakkan dari ketiadaan (nol) menjadi bentuk tata
surya saat ini.
Fisuf terkenal
Aristoteles telah memperkenalkan mengenai suatu elemen pokok yang memiliki
andil besar dalam segala proses alam ini. Dia menyatakan bahwa benda tidak
dapat bergerak dengan sendirinya. Maka dari itu, harus ada penggerak dimana
penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada satu penggerak
pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos. Pendapat tersebut
sangat relevan dengan pendapat Anaximandros di atas, yang menyatakan bahwa
segala sesuatu berasal dari yang tak terbatas. Kedua pendapat ini menguatkan
akan adanya tuhan sebagai pencipta dan penggerak alam semesta yang tak
terbatasi oleh apapun.
Mengenai
pencipta atau penggerak dari segala kejadian-kejadian alam dan proses penciptaan
alam yang bermula dari suatu titik nol di atas, ternyata telah dijelaskan dalam
Alquran secara jelas dalam surat al-Anbiya’ ayat 30. Allah Swt berfirman:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا
رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا
يُؤْمِنُونَ
Dan
Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya.
dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka
tiada juga beriman?
Ayat di atas mengindikasikan
bahwasanya Allah Swt menciptakan langit dan bumi dari suatu yang padu (nol)
lalu memisahkan keduanya. Ayat di atas sangat relevan dengan teori Bing Bang dan
penemuan astronom Edwin Hubble yang menyatakan bahwasanya, alam semesta berawal
dari satu titik nol yang memiliki kerapatan dan panas yang tak terhingga. Lalu suatu
yang padu tersebut mengembang menjadi planet, matahari, galaksi dalam sistem tata
surya.
Dari pemaparan
beberapa teori filsafat, sains, dan didukung dengan ayat Alquran di atas, maka
dapat diketahui bahwasanya alam semesta berawal dari proses penciptaan melalui
ledakan besar berdasarkan gerakan mengembang dan menjauh Edwin Hubble. Kemudian,
dari proses pengembangan tersebut dapatlah diketahui bahwa terdapat sesuatu
yang pasti tak terbatas yang melakukan segala kejadian ini. Sesuatu yang tak
terhingga tersebut tentulah Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang mampu menciptakan dan
menggerakkan alam semesta sesuai dengan perhitungan-Nya. Lalu, siapa yang
menciptakan dan menggerakkan segala kejadian di alam semesta ini kalau bukan
Allah Yang Maha Esa tuhan di langit dan bumi. Firman Allah Swt dalam surat
az-Zumar ayat 5:
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بِالْحَقِّ
يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ
وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأجَلٍ مُسَمًّى أَلا هُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ (٥)
Dia
menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam
atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan,
masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. ingatlah Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.
Maka, bukan suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia untuk mencari kebenaran Tuhan. Semua hal tersebut dapat dilakukan oleh manusia sebagai makhluk tuhan yang diberi keistimewaan berupa akal pikiran.
Maka, bukan suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia untuk mencari kebenaran Tuhan. Semua hal tersebut dapat dilakukan oleh manusia sebagai makhluk tuhan yang diberi keistimewaan berupa akal pikiran.
[4] Ar-Ra’d: 4