Mengenai Saya

Foto saya
Sumenep, Jawa Timur, Indonesia
cantik, luwes, baik hati, and up to date

Rabu, 03 Juli 2013

TEORI FILSAFAT DAN EKSISTENSI MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG BERAKAL: Memahami Konsep Penciptaan Alam Berdasarkan Wahyu Tuhan dan Teori Filsafat Barat



Alfred Ayer mengatakan bahwa, “Filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah ada semenjak zaman Yunani dalam hal-hal pokok yang tetap sama.  Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana kita dapat mengetahuinya; hal-hal apa yang ada dan bagaimana hubungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalahkan pendapat-pendapat yang telah diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilainya; apakah asumsi-asumsi dari pemikiran ini dan selanjutnya memeriksa apakah hal-hal itu berlaku.”[1]
Sebagaimana pernyataan Alfred Ayer di atas, maka dapat diketahui bahwa filsafat merupakan pencarian atau mempelajari segala sesuatu yang ada dengan sungguh-sungguh dan mendalam mengenai hakikat atau nilai yang terkandung di dalamnya. Pencarian ini bukan sekedar pencarian yang bersifat fisik yang mengandalkan materi atau data lapangan saja, tetapi pencarian ini lebih kepada petualangan alam pikiran manusia untuk menemukan suatu prinsip dasar yang pokok mengenai segala sesuatu yang ada di alam semesta. Pencarian tersebut hanya dapat dilakukan melalui aktivitas berpikir secara mendalam. Subjek dari aktivitas berpikir ini, adalah manusia. Manusia yang berfilsafat dapat disebut sebagai filsuf. Namun, tidak semua manusia yang berpikir dapat dikatakan berfilsafat. Allah Swt berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ (١٩٠)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.[2]


وَمِنْ آيَاتِهِ يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَيُحْيِي بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٢٤)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.[1]

وَفِي الأرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الأكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٤)
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.[2]

Ayat di atas menjelaskan bahwasanya Allah Swt memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya untuk berpikir tentang kejadian-kejadian alam yang terjadi di sekitar manusia. Kejadian yang terjadi di alam semesta merupakan suatu hal yang ajaib dan aneh. Maka, manusia selaku makhluk yang memiliki akal pikiran tentu tak akan tinggal diam dengan hal tersebut. Aktivitas berpikir yang dijelaskan dalam ayat di atas merupakan aktivitas berpikir mendalam yang sering disebut sebagai berfilsafat. Bukan sekedar berpikir mengenai bagaimana proses terjadinya alam atau perubahannya saja. Berpikir dalam hal ini  (kejadian alam semesta) berkaitan erat dengan aspek Ontologi (hakikat), Epistemologi (prosedur), dan Aksiologi (fungsi) dalam ilmu filsafat. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka diperlukan beberapa metode berpikir secara filsafat, yang diantaranya ialah radikal (mencapai dasar atau akar-akarnya), rasional (logis), komprehesif (keseluruhan), bebas, sistematis (teratur), dan spekulatif (dugaan-dugaan awal yang logis).
Dalam sejarah filsafat, banyak tokoh Yunani yang melakukan pelbagai kegiatan filsafat terhadap hal-hal yang mereka temui dan mereka hadapi. Pada masa kuno, ada Thales yang berasumsi bahwa segala sesuatu berasal dari air. Anaximandros yang beranggapan bahwa segala yang ada berasal dari yang tak terhingga. Kemudian Anaximenes yang menyatakan bahwa udaralah induk dari segala sesuatu. Proses berpikir ini merupakan aktivitas berpikir alami, yaitu aktivitas berpikir yang bermula dari keingintahuan terhadap asal mula alam semesta. Pola pemikiran (filsafat alam) tersebut kemudian berkembang hingga masa klasik, abad pertengahan, (zaman patristik dan skolastik) dan masa modern. Dari sejarah tersebut, dapat diketahui bahwa manusia merupakan makhluk yang berakal dan senantiasa berpikir. Pola pemikiran manusia akan terus berlanjut dan berkembang. Aktivitas berpikir yang berkembang pada masa Filsafat Alam ini sebenarnya telah tertuang dalam Alquran Surat Yunus ayat 101 yang berbunyi:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا تُغْنِي الآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ قَوْمٍ لا يُؤْمِنُونَ (١٠١)
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".

Pada abad pertengahan atau masa berkembangnya teori filsafat teosentris, pemikiran manusia telah sampai pada persoalan mengenai ketuhanan. Zaman ini terbagi atas zaman patristik (Patristik Yunani dan Patristik Barat) dan zaman skolastik. Di negara barat, filsafat berkembang di bawah naungan dogma-dogma agama kristen (Patristik Barat). Filsafat yang berkembang merupakan bentuk implementasi agama ke dalam pemikiran filsafat. Artinya, hanya kebenaran tuhanlah yang sejati dibandingkan kemampuan akal manusia. Hal tersebut berbeda dengan pemikiran filsafat yang berkembang di Yunani kuno (Patristik Yunani). Pandangan filsafat Yunani kuno berkeyakinan bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui kemampuan akal atau berpikir manusia.
Pertentangan antara pola pemikiran patristik Yunani dan patristik Barat di atas sebenarnya dapat dihubungkan dan dikorelasikan. Pandangan antara Yunani dengan Barat bukan merupakan suatu kontradiksi. Artinya, filsafat dan agama saling berkaitan satu sama lain. Wahyu Tuhan dapat meluruskan pemikiran filsafat yang spekulatif terhadap kebenaran agama. Lalu di sisi lain, filsafat dapat memperkuat keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak agama yang tertuang dalam wahyu Tuhan secara kritis dan logis. Pada dasarnya, filsafat yang sejati akan kembali pada kebenaran agama. Bukan mematahkan doktrin agama yang terdapat dalam teks wahyu Tuhan. Karena tidak semua persoalan yang dihadapi oleh manusia dapat diselesaikan oleh filsafat. Beberapa persoalan yang bersifat asasi tentang alam, manusia, maupun Tuhan pun terkadang hanya bisa dijawab oleh agama. Akan tetapi, hal tersebut tidak menutup atau menghalangi manusia untuk terus berpikir dan mencari pengetahuan tentang alam semesta.

Teori-teori tentang penciptaan alam semesta dan segala kejadiannya yang semakin berkembang hingga saat ini sebenarnya telah dijelaskan terlebih dahulu dalam Alquran. Sebelumnya, para filsuf materialisme mengatakan bahwa alam semesta merupakan benda material yang telah ada sejak dahulu sebagaimana bentuk yang telah ada sekarang serta tidak ada penggerak atau sebab pertama yang menyebabkan benda itu ada. Kelompok ini tidak mengakui adanya wujud immaterial (nonmateri) seperti roh, hantu, malaikat, bahkan Tuhan. Segala yang bergerak dan berubah di alam semesta merupakan gejala material biasa yang akan kembali lagi pada dasar material. Akan tetapi, ilmu pengetahuan khususnya di bidang sains mematahkan teori materialisme.
Stephen Hawking, penemu teori Bing Bang (ledakan besar) telah mampu mematahkan teori materialisme tersebut. Teori Bing Bang dalam kosmologi adalah salah satu teori ilmu pengetahuan yang menjelaskan tentang perkembangan dan bentuk awal dari alam semesta. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta ini berasal dari kondisi yang sangat padat dan panas, kemudian mengembang terus menerus hingga kini sejak sekitar 13,7 miliar tahun yang lalu. Lalu, dari ledakan tersebut terbentuklah planet-planet, bintang-bintang, dan lain sebagainya seperti yang ada dalam sistem tata surya saat ini. Pada tahun 1929 astronom Amerika Serikat, Edwin Hubble melakukan observasi dan melihat bahwasanya galaksi yang jauh selalu bergerak menjauhi kita. Artinya, jika gerakan menjauh tersebut dikerucutkan kembali ke awal, maka dapat diperkirakan bahwa alam semesta bermula dari pengembangan sebagaimana teori ledakan besar Stephen Hawking. Pada saat itu, alam semesta bermula dari satu titik dengan ukuran nyaris nol dan berada pada kerapatan dan panas yang tak terhingga. Hal ini menunjukkan bahwa, dahulu ruang angkasa, galaksi, planet, matahari, bumi dan segala benda yang ada di alam semesta adalah satu. Kemudian terpisah karena adanya ledakan besar sehingga terbentuk bumi dan tata surya yang ada saat ini. Maka dari itu, tak dapat dipungkiri bahwasanya alam semesta ini sebenarnya ada yang menciptakan dan menggerakkan dari ketiadaan (nol) menjadi bentuk tata surya saat ini.
Fisuf terkenal Aristoteles telah memperkenalkan mengenai suatu elemen pokok yang memiliki andil besar dalam segala proses alam ini. Dia menyatakan bahwa benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya. Maka dari itu, harus ada penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada satu penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos. Pendapat tersebut sangat relevan dengan pendapat Anaximandros di atas, yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari yang tak terbatas. Kedua pendapat ini menguatkan akan adanya tuhan sebagai pencipta dan penggerak alam semesta yang tak terbatasi oleh apapun.
Mengenai pencipta atau penggerak dari segala kejadian-kejadian alam dan proses penciptaan alam yang bermula dari suatu titik nol di atas, ternyata telah dijelaskan dalam Alquran secara jelas dalam surat al-Anbiya’ ayat 30. Allah Swt berfirman:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلا يُؤْمِنُونَ
Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?

Ayat di atas mengindikasikan bahwasanya Allah Swt menciptakan langit dan bumi dari suatu yang padu (nol) lalu memisahkan keduanya. Ayat di atas sangat relevan dengan teori Bing Bang dan penemuan astronom Edwin Hubble yang menyatakan bahwasanya, alam semesta berawal dari satu titik nol yang memiliki kerapatan dan panas yang tak terhingga. Lalu suatu yang padu tersebut mengembang menjadi planet, matahari, galaksi dalam sistem tata surya.
Dari pemaparan beberapa teori filsafat, sains, dan didukung dengan ayat Alquran di atas, maka dapat diketahui bahwasanya alam semesta berawal dari proses penciptaan melalui ledakan besar berdasarkan gerakan mengembang dan menjauh Edwin Hubble. Kemudian, dari proses pengembangan tersebut dapatlah diketahui bahwa terdapat sesuatu yang pasti tak terbatas yang melakukan segala kejadian ini. Sesuatu yang tak terhingga tersebut tentulah Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang mampu menciptakan dan menggerakkan alam semesta sesuai dengan perhitungan-Nya. Lalu, siapa yang menciptakan dan menggerakkan segala kejadian di alam semesta ini kalau bukan Allah Yang Maha Esa tuhan di langit dan bumi. Firman Allah Swt dalam surat az-Zumar ayat 5:
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ بِالْحَقِّ يُكَوِّرُ اللَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لأجَلٍ مُسَمًّى أَلا هُوَ الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ (٥)
 Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. ingatlah Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Maka, bukan suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia untuk mencari kebenaran Tuhan. Semua hal tersebut dapat dilakukan oleh manusia sebagai makhluk tuhan yang diberi keistimewaan berupa akal pikiran.  




[1] Bambang Q. Anees, Filsafat untuk Umum, (Jakarta: PRENADA MEDIA, 2003), hlm. 2
[2] Ali Imran: 190
[3] Ar-Rum: 24
[4] Ar-Ra’d: 4